Tampilkan postingan dengan label twitter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label twitter. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Januari 2013

dokter dan sakit


“Dokter kok bisa sakit?”

Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali ya, makanya nggak bisa sakit.

Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his family, he has to take care for himself.

Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.

Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak yang datang dengan keluhan serupa.

Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus diminum.

Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada kondisiku.

Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.

Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara tidak sadar menganggap diri kami manusia seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin memburuk.

Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu, apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.

Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.

Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.

Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis? Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap individu.

Well, punya pasien seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D

Get well soon, doc.*ngomong sama cermin*

Senin, 17 Desember 2012

Wings



Beberapa hari yang lalu aku random pergi karaoke bersama Res, walaupun sebenarnya rencana karaoke ini sama sekali tidak ada dalam daftar acara kami hari itu. Lagu-lagu yang kami nyanyikan pun random, tapi kebanyakan bertema ‘nostalgia’. Entah itu lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Korea, bahkan lagu anak-anak. Untuk yang terakhir memang murni kerandomanku sendiri. Sudah sering aku karaoke, tapi belum pernah aku mengecek kumpulan lagu anak-anak. Iseng aku nyanyikan beberapa lagu anak-anak (yang disusul dengan tatapan what-the-fuck-are-you-singing-right-now dari Res XD).

Menyanyikan lagu anak-anak memang beda sensasinya dari menyanyikan lagu untuk orang dewasa, terutama dari segi lirik lagu. Kebetulan lagu yang aku nyanyikan menceritakan tentang seorang anak yang berandai ingin pergi jauh setelah melihat banyak hal yang biasa ia lihat di sekitarnya pergi satu-persatu. Menurutku lirik lagu ini benar-benar polos, lugu, tapi juga ‘dalam’ maknanya.

Tentunya ini mengingatkanku pada kondisiku saat ini. Duluuu sekali saat baru masuk kuliah aku pernah mencoba membayangkan gimana rasanya saat awal lulus nanti. Mau ke mana aku? Mau ke mana teman-temanku? Seperti apa cerita hidup kami setelah itu? Sekarang setelah benar-benar lulus dan dihadapkan pada kondisi tersebut (di mana satu-persatu orang-orang di sekitarku pergi bahkan sejak sebelum aku lulus) aku mulai berpikir.

Beberapa orang datang dan pergi dari kehidupanku. Ada yang pergi sebentar, ada yang lama. Ada pergi jauh, ada yang dekat. Ada yang kembali, ada yang pergi selama-lamanya. Ada yang masih rutin kontak, ada yang hampir tidak pernah ada kabarnya.

Mereka pergi. Mereka ‘pindah’. Mereka mencari sesuatu yang lebih baik dari kondisi mereka yang sekarang. Tujuan mereka sama : mengejar apa yang sudah mereka impikan. Dan mereka menjadikan aku seperti anak di lagu itu; aku yang ingin ikut ‘mengejar’ mimpi bersama mereka.

Baik mereka yang masih di sini—di sekitarku—maupun mereka yang sudah jauh tapi masih sering berbagi cerita, mereka juga masih terus memperjuangkan impiannya.

Aku? Tentu saja aku juga. ^^

I’ve never had a dream before. But now when I have it, I want to dream big.”
                                                                                                           -Res-


PS: Ada yang tau lagu apa yang aku nyanyikan? Hehe.

Senin, 12 November 2012

farewell


To be honest, I still can't find any 'good' in 'goodbye' nor 'well' in 'farewell'.

Okay, who else want to leave this city, hah?! *cry*

人は皆それぞれに気持ちを抱えて
今はただ別々の道を歩んで行く
どこまでも続いてくこの every stage of life
Everyone is holding his or her own variety of feelings
It's just that each of us are now walking our own separate paths
This continues on and on, in every stage of life 

GreeeeN - Hito

Goodbye. 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Promise




Selesai baca twitku? Apa yang ada dalam pikiranmu?

Kalau kamu berharap ada suatu kisah mengharukan yang dianalogikan dengan hidup, maka silahkan kecewa sekarang juga karena cerita ini sama sekali tidak menarik. Lalu kenapa ditulis? Karena aku sedang nganggur dan menunggu ngantuk.

Kids, dari sekarang aku perlu menyampaikan bahwa suatu saat nanti kita semua yang kuliah bakal menghadapi kegalauan tentang skripsi. Tapi ada satu hal yang ingin aku tekankan. Kids, segalau apapun kamu, jangan pernah bikin perjanjian aneh-aneh, baik terhadap dirimu maupun terhadap siapapun itu. True story.

And everytime I wrote “true story”, I meant it. Literally.

Dulu saat semester enam, aku dan temanku mengalami kegalauan besar gara-gara skripsi. Saat itu kami luntang-lantung nggak jelas memikirkan nasib skripsi kami di sebuah gazebo kampus yang dikelilingi oleh kolam ikan. Kami termenung, saling menumpahkan uneg-uneg tentang skripsi, namun tidak berusaha mencari penyelesaian. Kami mengalihkan perhatian kami dan melihat ikan-ikan di sekitar kami berenang bahagia seolah mengejek kami, “hei, kami ikan nggak perlu skripsi lho!”

Kids, terkadang stres dan galau karena skripsi bisa membuatmu berhalusinasi, karena itu jangan pernah percaya pada apa yang muncul di pikiranmu saat galau. Karena saat itu yang aku dan temanku pikirkan hanya satu; memancing ikan-ikan yang ‘mengejek’ kami saat itu dan menggorengnya suatu hari nanti sebelum kami benar-benar lulus dan meninggalkan kampus.

You got the point? Kami membuat perjanjian untuk memancing ikan di kolam kampus.

Lalu waktu berlalu cukup lama, kids, dan berbagai upacara kelulusan telah kami lewati. Yudisium, sumpah, dan akhirnya H-1 wisuda. Itu berarti waktuku untuk berada di kampus sudah hampir habis. Dan janji itu belum terpenuhi. Karena merasa tidak ada waktu lagi, maka tepat H-1 wisuda yaitu kemarin, pagi hari, aku dan temanku datang ke kampus membawa...ehm, jala.

Iya, jala. Kecil kok, muat dimasukin ke tas.

Jam 9 pagi. Saat itu kampus belum terlalu rame. Kami sudah siap di gazebo membawa jala kecil di pinggir kolam. Kami sempat khawatir bakal ditegur sama tukang kebun atau tukang lainnya yang seliweran. Tapi tiap mereka melihat kami paling mereka cuma tanya, “Ngapain?” dan kami jawab, “Nyoba ngambil ikan” dan akan ditanggapi oleh mereka, “Oh. Ati-ati ya.” Mungkin mereka tau niat kami baik; cuma mau nyoba menjala ikan dan mengembalikannya lagi saat sudah ketangkep. Ya, dan memang itu tujuannya. Kami sudah nggak terpikir untuk menggorengnya. Lagian buat apa?

Kolam kampus ini punya banyak sekali ikan, kids. Tapi yang tidak kalian ketahui adalah ikan-ikan ini sebenarnya makhluk yang cerdas. Mereka bisa menyadari bahaya yang datang. Buktinya begitu aku dan temanku mendekat, ikan-ikan ini akan langsung berenang menjauh. Bahkan setelah beberapa lama, ikan-ikan ini akan langsung menjauh begitu tau kami berdiri dari kursi yang jaraknya beberapa meter dari kolam. Ckckck.

Tentu saja banyak ikan di kolam tidak menjamin kamu akan dengan mudah mendapatkan mereka, kids. Banyak faktor yang berperan dalam mengambil ikan, beberapa di antaranya adalah panjang jala, strategi yang matang, dan tentunya mental yang kuat karena kami sempat diliatin sama adik kelas. Lucky they didn’t recognize us as their seniors who already become doctors.

Setelah perjuangan menangkap ikan selama lebih kurang 45 menit kami pun menyerah. Tidak, kids, 45 menit bukan waktu yang singkat. Silahkan bayangkan sendiri kalau kalian jadi aku dan temanku, dua orang cewek di pinggir kolam bawa jala kecil berusaha menangkap ikan dan diliatin adik kelas plus diketawain tukang yang lewat. Bisa dibayangkan kan? Oke, 45 menit serasa 45 jam.

In the end, we didn’t get any fish at all. Mungkin Tuhan tau kalau salah satu dari ikan itu sempat tertangkap maka akan berdampak besar pada psikologisnya suatu hari nanti karena bisa jadi ia akan diejek teman-temannya, “Bego banget sih kamu, masa jala kecil gitu aja bisa ketangkep”.

Mungkin, kids, mungkin. Tidak ada salahnya kita berbaik sangka.

Karena itu, kids, jangan pernah percaya dengan ungkapan “tenang, masih banyak ikan di laut”. Ingat, kids, banyak ikan bukan berarti kamu pasti bisa menangkap salah satu dari mereka. Mungkin bisa, tapi tidak dalam waktu 45 menit.

Sekian dan selamat atas kelulusannya.

Rabu, 17 Oktober 2012

Final whistle


Kids, last night's football match really left big impression for me. It was between 2 great team in Europe, Spain vs France.

I'm sure you still remember your aunt Ika who loves football so much. One day your aunt Ika told me her most favorite life quote from her favorite sport. Here it is:

Never give up until the final whistle

And you know, kids, last night's match suited well with this quote. Literally.

Being in the same group with the exact same score made Spain and France competed really hard to win that time. Spain, as the winner of Euro 2008, World Cup 2010, and Euro 2012, of course being the one that favored. And it was clearly seen Spain dominated the game, even they scored the goal first in the first half. Casillas, Spain goalkeeper, only touched the ball once.

In the second half, France stepped up their attacks. Being left 0-1 by Spain made France tried hard to score the goal. But still the favored one proved their great defend.

It went to the injury time of second half. They had extra 3 minutes and the score still 1-0 for Spain. I was thinking of sleeping because the 3 minutes wouldn't change anything because Spain apparently still could played well though somewhat was overwhelmed with France's attack.

But, kids, something hold me not to leave my place until injury time ended. One of the France player scored the goal exactly on the last minute before the final whistle was blew. 1-1 for France.

It was the last minute, kids, and France did well to change the score from 0-1 to draw 1-1.

Of course I was disappointed because they score a draw, but how the France struggled was admirable. They didn't give up until the final whistle, like what your aunt Ika told me.

What would be happened if France lost? They would have to compete against other groups's runner-ups in order to qualify to the next step. And Spain, of course would be easier to qualify to the next step.

So, kids, here what I wanted to tell you; whatever happened to your life, never ever give up until the final whistle, just like what France did.

True story.

Selasa, 16 Oktober 2012

Clueless


Sometimes people dramatize their own life just because what run in their mind.
True story.

Kamis, 10 Mei 2012

Today's story


"Kalau sedang sedih maka berbuat baiklah agar sedihmu bisa terobati"

Kalimat random itu sudah aku pegang sejak masih kuliah dulu, terkait suatu peristiwa sederhana sepulang kuliah. Hari itu aku merasa sedih setelah tau nilaiku tidak memuaskan, lalu aku melihat seseorang memerlukan bantuan. Setelah membantunya dan mendapat ucapan terima kasih aku menyadari kalau sedihku langsung hilang seiring ucapan terima kasih itu muncul.

Lalu apakah maksudnya aku mengajarkan untuk berharap mendapat ucapan terima kasih? Bukan. Yang mau aku ceritakan kali ini sama sekali tidak ada hubungannya. ^^

Siang itu, 10 menit sebelum jadwal nonton video operasi supervisor, aku dan Dwi berencana mau lihat nilai ke TKP. Selama ini aku nggak mau lihat nilai, takut menjatuhkan mental nantinya. Tapi kali ini aku nekat mau lihat, sekalian persiapan menjelang kelulusan. Kami berjalan melewati parkiran dosen menuju TKP. Saat itu lah aku melihat seorang nenek dengan mata kanan ditutup kasa. Aku mengenali nenek itu sebagai salah satu pasien di poli hari ini. Aku membungkuk memberikan salam, ternyata nenek itu malah menggandengku.

"Nak, saya nggak bisa lihat jelas. Saya minta tuntun nggak apa ya?" ujar beliau. Aku mengangguk mengiyakan.
"Mau kemana, bu?" tanyaku.
"Ini lho, saya tadi habis operasi terus kok disuruh bayar, padahal saya pakai jamkesmas. Ini terus saya harus gimana?"

Nenek itu menunjukkan buku laporan operasi yang beliau pegang. Jujur saja, aku nggak pernah tau soal prosedur pengurusan pembayaran untuk jamkesmas. Nenek itu juga sepertinya kurang mendapat penjelasan yang lengkap. Karena bingung akhirnya kami antar beliau ke poli untuk bertanya ke perawat poli di lantai 2.

"Oh, ini nggak bayar. Cuma minta stempel aja kok. Tapi mintanya nggak di sini, di loket depan tempat daftar," kata pak perawat di poli.

Aku menoleh. Nenek itu tampaknya masih kebingungan, ditambah kondisi matanya seperti itu dan (ternyata) beliau punya OA. Kami semakin tidak tega meninggalkan beliau dan kami memutuskan mengantar beliau menyelesaikan semua urusannya.

Di loket lantai 2 kami disuruh turun ke loket pembayaran lantai 1. Di loket khusus jamkesmas, katanya. Pelan-pelan kami tuntun beliau untuk ke lantai 1. Sampai di loket sana beliau duduk istirahat sementara aku yang mengurus semua persyaratannya dengan berbekal semua kertas fotokopian yang beliau bawa. Ternyata ribet sekali urusan jamkesmas ini, satu bendel yang harus dikumpulkan berisi fotokopi segala macam kartu identitas. Untungnya ada seorang ibu yang membantuku untuk memilih-milih kertasnya. Rupanya ibu itu sudah terbiasa mengurus jamkesmas.

Urusan loket pembayaran tindakan operasi beres. Sekarang nenek itu harus menebus resep jamkesmasnya. Setelah ditanyakan ke petugas loket katanya resepnya mungkin bisa ditebus di depo IRNA 2 di belakang. Berjalan lah kami ke belakang untuk menebus resep. Tapi ternyata pihak depo menolak, alasannya nenek itu pasien rawat jalan sehingga harus menebus resep di apotek lantai 2 khusus jamkesmas.

Aku lihat nenek tadi tampak kelelahan duduk di depan apotek. Masih tega kah meminta beliau kembali ke lantai 2? Rasanya kok tidak ya. Kami pun berinisiatif untuk menguruskan resep beliau sementara beliau biar menunggu di depo situ saja. Dwi tetap di situ menemani beliau sementara aku naik ke apotek lantai 2 sambil membawa semua kertas fotokopian beliau.

Sampai di lantai 2 rupanya bendel yang harus dikumpulkan kurang 1 paket lagi, sementara punya nenek tadi sudah habis. Untung ada fotokopian di lantai 2 sehingga tidak perlu repot turun cari fotokopian. Setelah urusan beres aku mengantri di depan loket apotek jamkesmas.

Resep beres, tapi...
"Mbak, ini tetes matanya nggak ada. Adanya salep. Nggak apa?"
Jreeeeng!!! Apa lagi ini?
"Nggak ada itu karena habis atau memang tidak disediakan di jamkesmas?"
"Tidak disediakan."
"Tapi ada persediaannya kan di sini?"
"Nggak ada."

Waduh, apalagi ini? Aku hubungi Dwi di bawah untuk mengecek apa depo bawah menyediakan obatnya. Kalau ada biar nenek itu beli sendiri tanpa resep. Eh, ternyata juga nggak ada. Sekembalinya ke tempat nenek tadi aku KIE beliau soal obat yang tidak disediakan di jamkesmas dan alternatif untuk beli di apotek luar.

"Kalau mau di belakang RS ada apotek. Mungkin di situ dijual."
"Oh ya nggak apa, nak, beli sendiri saja."

Nenek itu mengeluarkan selembar uang 10 ribu rupiah. Aku pinjam Dwi 10 ribu rupiah lagi, jaga-jaga kalau uangnya nggak cukup. Dwi tetap di situ menemani nenek, sedangkan aku ke apotek di belakang RS.

Selama perjalanan aku dihubungi teman-teman di kelas yang sedang ada diskusi dengan supervisor. Katanya kami dicari. Waduh, gimana ini? Sejak tadi aku memang menghubungi seorang teman di kelas sambil mengabarkan kondisiku dan minta dikabari kalau ada apa-apa. Katanya sih supervisor nggak marah, tapi tetap saja rasanya nggak enak karena temanku juga belum sempat menjelaskan apa-apa ke supervisor soal kondisiku dan Dwi.

Di apotek aku sempat diberi obat tetes mata dengan harga 30 ribu rupiah. Dengan memelas aku minta dicarikan persediaan obat tetes yang generik saja. Untungnya apotekernya baik dan berhasil menemukan obat yang generik dengan harga 5 ribu saja. Aku kembali ke nenek tadi, menyerahkan obat dan uangnya, meng-KIE, lalu mengantarkan sampai ke depan RS. Di depan RS kami minta bantuan satpam untuk menyebrangkan nenek tadi dan membantu mencarikan angkot agar tidak salah naik.

Setelah memastikan nenek tadi aman bersama satpam kami cepat lari ke kelas. Banyak teman yang sudah pulang. Untungnya supervisor masih ada di ruangan. Dan alhamdulillah penjelasan kami diterima.

"Saya juga minta maaf sudah berburuk sangka ke kalian tadi," kata supervisor tadi. Sumpah ya, beliau terlihat sangat sangat sangat ganteng saat mengatakan hal itu. Makasih banyak, dok! *terharu*

Akhirnya aku dan Dwi belum sempat lihat nilai. Aku juga heran kenapa tiba-tiba air mataku menetes setelah menghadap supervisor tadi. Entah karena seharian melihat kondisi nenek tadi, atau lega karena tidak dimarahi. Tapi kali ini aku sadar hatiku yang selama ini kukira sudah teranestesi dan mati ternyata belum mati. :)

Minggu, 06 Mei 2012

Bicycle


Dinda: "Cariin carter kalo bisa, mobil pick up"

Malam itu (atau sore itu?) sekitar habis sholat maghrib aku lihat BB kedip-kedip. Ada apa ya? batinku. Ternyata ada notification dari whatsapp group dengan pesan seperti yang sudah tertulis di atas.

Dea: "Gimana caranya udah jam segini"
Dinda: "Alamat aku ngayuh dari Pasar Besar ke kos"
Dea: "Gak bisa minta anter ta?"
Dinda: "Udah malem, gak ada orang yang nganter. Atau ngayuhnya maraton, ayo ayo"
Mega: "Onni di mana sekarang?"
Dinda: "Di pasar besar. Tau toko polygon? Sebelahnya pas"
Mega: "Ya udah aku kesana"
Dea: "Lapo iki rek?"
Dinda: "Ayo De kesini, gantian ngayuh sepeda"
Mega: "Asal aku gak di rumah gak papa lah, aku males"
Dinda: "Asik sepedaan malming"

Aku masih bungkam membaca percakapan itu. Bukannya tidak peduli, tapi pikiranku saat itu masih terbagi dengan sesuatu yang tidak mengenakkan dan baru kerasa sangat menyakitkan malam itu. Setelah bengong mengikuti percakapan beberapa saat aku pun menimpali, "Apa aku datang juga? Mumpung deket dari tempatku."
"Gapapa ta? Gak malah jauh?"
"Gapapa. Aku berangkat sekarang ya."

Tanpa menunggu lama aku tutup semua tab internet yang sedang aku buka dan mematikan laptop. Setelah ganti baju dan mengambil hape serta dompet aku pun berangkat menuju lokasi.

Sampai di sana rupanya Dinda sudah pergi. Katanya sekarang dia sedang menunggu di daerah Balai Kota. Aku masih berputar-putar di sekitar kota lama. Bukannya apa, di sana memang banyak jalan satu arah yang agak merepotkan. Motor aku belokkan menuju Balai Kota.

Di Balai Kota tampak sepi. Kemana lagi anak ini? pikirku. Aku cek lagi whatsapp, sudah ada update terbaru kalau Dinda pindah ke daerah pasar bunga. Dan posisiku tidak memungkinkan untuk putar balik, apalagi saat itu malam minggu dan lalu lintas cukup ramai. Jadi lah aku nyari jalan muter sampai ke Kayutangan sana.

Akhirnya berhasil juga ketemu Dinda di depan masjid dekat pasar bunga. Dia naik sepeda barunya ditemani sepupunya yang naik motor.

"Onni!!! Akhirnya datang juga! Aku capek ngayuh ni.."
"Mau langsung aku gantikan sekarang?"
"Iya deh. Ini sekarang Dea nunggu di Lai Lai. Kita berhenti di sana aja ya, onn."

Mulai lah diriku naik sepeda, sementara motorku dikendarai Dinda. Ini bukan pertama kalinya aku naik sepeda di jalan raya yang ramai. Dulu aku pernah naik sepeda sampai Ijen sendirian. Tapi jelas suasana kali ini berbeda. Ini malam hari dan malam minggu (oke, terus kenapa?). Bersepeda malam hari memang ada sensasi tersendiri, terutama di jalan raya.

Sampai di Lai Lai kami tidak berhasil menemukan keberadaan Dea. Sementara posisi Lai Lai yang berada di pojokan membuat kami diserang banyak kendaraan dari berbagai sisi.

"Lanjut aja deh, onn. Kita nunggu di stadion aja."

Oke deh, ngayuh lagi kali ini sampai stadion. Bener-bener jomblo ngenes; malam minggu mancal sepeda baru ditemani cewek-cewek. I'll remember this moment for sure. XD

Sesampai di stadion bala bantuan mulai berdatangan. Dea dan Mega datang bawa motor masing-masing. Mereka berebut mau naik sepeda. Akhirnya Mega yang mendominasi.

"Aku bawa sepedanya sampai kos langsung," kata Mega.
"Serius, Meg? Jauh lho"
"Biarin. Aku lagi pingin mancal."

Yah, kalau memang itu permintaannya mau gimana lagi. Kami cuma bisa mendampingi di sekitar Mega biar dia aman selama perjalanan. Kos Dinda di sekitar Taman Makam Pahlawan dan jaraknya kalau naik sepeda motor dari stadion sekitar 10 menit. Cukup jauh (dan capek tentunya) kalau ditempuh dengan sepeda pancal.

Tapi kulihat Mega penuh semangat memancal sepeda itu. Err...sebenarnya bukan penuh semangat sih, tapi penuh amarah. Aku nggak tau apa yang sudah terjadi, tapi keliatan kalau Mega sedang emosi dan ingin meluapkannya dengan bersepeda. Mungkin.

Setelah perjalanan panjang sampai juga kami semua di kos Dinda. Air putih sudah disiapkan untuk menyambut kami, terutama Mega, yang mancal paling lama. Kami istirahat sebentar di depan kos sambil mengobrol.

Dari situ aku mengamati, kami sekarang berkumpul di sini dengan alasan yang berbeda-beda. Dinda sengaja beli sepeda malam minggu agar besok bisa langsung dipakai ke Car Free Day. Dea batal nonton konser malam itu sehingga mencari acara lain. Mega sedang suntuk dan tidak ingin di rumah seharian. Dan aku...yah, aku sedang ada masalah yang sekilas terlupakan setelah mancal beberapa saat tadi.

Apapun alasannya, yang penting malam itu kami bersenang-senang. Melupakan masalah yang ada. Terutama aku, untuk sesaat pikiranku terdistraksi terhadap hal lain. Semua berkat sebuah sepeda pancal.

Mungkin ini saatnya aku memperbaiki sepeda pancalku. :)

Jumat, 03 Februari 2012

Song


Malam itu seharusnya malam sebelum aku ujian akhir EM.

Dan, tentunya, malam itu seharusnya aku habiskan dengan belajar.

Tapi banyak hal random yang bermunculan di kepalaku dan akhirnya aku pun terlibat dalam beberapa diskusi tentang hal-hal random tersebut. Mulai dari mengapa saat Valentine tampak warna pink di mana-mana, apakah Sailor Pluto masih perlu ada sekalipun Pluto bukan lagi planet, dan membahas multilanguage pada lagu akhir-akhir ini.

Khusus untuk topik terakhir, seorang teman tiba-tiba memunculkan pernyataan kalau suatu hari nanti bisa jadi ada program yang langsung menerjemahkan lagu Korea menjadi lagu Jepang sehingga penyanyi tidak perlu take vocal dua kali. Hal ini mengacu pada tren artis Korea yang akhir-akhir ini banyak yang ingin debut di Jepang sehingga mereka membuat Japanese version dari lagu mereka. Tapi yang disayangkan adalah Japanese version hanyalah sebatas lagu tersebut diterjemahkan menjadi bahasa Jepang. Itu saja. Tidak ada yang baru. Tidak ada lagu yang dibuat khusus untuk memulai debut di Jepang.

Tapi tentu saja tidak semua artis Korea seperti itu. Ada juga yang memang khusus membuat lagu berbahasa Jepang dan tidak ada embel-embel Japanese version atau dibuat versi Korea-nya kelak. Terkadang Japanese version atau lagu-lagu debut berbahasa Jepang ini cukup dapat meredam kerinduan para fans artis Korea yang juga suka lagu Jepang (seperti aku). Hehe.

Lalu aku berpikir, bagaimana kalau ada fans Korea-Jepang yang cinta negeri membuat lagu? Bisa jadi lagunya nanti terdiri dari 4 bahasa sekaligus (ditambah bahasa Inggris). Jepang dan Korea sendiri sejak awal sudah sering memasukkan kata-kata bahasa Inggris dalam lagu-lagu mereka. Mungkin suatu saat nanti akan ada lagu 4 bahasa sekaligus yang dibuat oleh fans.

Bahasan tentang multilanguage ini membuatku teringat sebuah lagu anak-anak yang pernah aku dengar saat kecil dulu. Not the good one, tapi karena lirik dan videonya cukup 'aneh' aku jadi mengingatnya dengan baik (oh damn...). Lirik lagunya seperti ini:
"Sukurin, rasain, wo ai ni, ni hao ma, mahoni..."
Dulu saat masih kecil aku ingat pernah bertanya pada orangtuaku, "Apa itu wo ai ni, ni hao ma, dan mahoni?" dan kemudian aku menyadari itu bahasa Mandarin (kecuali mahoni yang ternyata nama pohon). Sekarang aku baru menyadari betapa anehnya lirik lagu ini. Apa coba hubungan 'sukurin, rasain' dengan 'wo ai ni, ni hao ma,  mahoni'? I don't get it. Apakah mereka sedang bermain shiritori (permainan sambung kata)? Dan keanehan itu semakin tampak saat aku mengingat bagian awal lagu itu:
"Pale si botak dicium unta gare-garenye mencuri siomay"
....semakin aneh, bukan?

Temanku berkomentar, "Jadi kalau dulu ada peringatan, 'Nak, jangan mencuri timun, nanti dimarahi pak tani' sekarang juga ada peringatan, 'Nak, jangan nyuri siomay juga, nanti kepalanya dicium onta', gitu?" LOL!

Sebenarnya lagu anak-anak juga tidak seburuk itu. Ada juga beberapa lagu anak-anak yang bagus seperti yang dinyanyikan Trio Kwek Kwek, Sherina, Tasya, dll. Tapi itu duluuu sekali, sampai kemudian seiring berjalannya waktu mereka bertambah dewasa dan lagu-lagu mereka tergeser oleh anak-anak yang tidak bisa menyanyi tapi tetap nekat muncul di TV dengan lirik lagu yang aneh (btw, masih ada yang ingat lagu 'Tikus Makan Sabun' kah?). Seingatku, setelah era lagu-lagu aneh itu tadi lagu anak-anak semakin jarang dan akhirnya hampir tidak ada.

Atau boleh lah kita bilang sudah punah.

Anak-anak jaman sekarang menyanyikan lagu orang dewasa. Anak-anak jaman sekarang nyanyi lagu cinta. Padahal aku dulu waktu masih kecil selalu merasa malu tiap kali menyanyikan lagu cinta. Aku selalu merasa aku belum pantas menyanyikan lagu orang dewasa seperti itu sehingga aku tidak mendengarkan lagu cinta sampai lulus SD.

Tapi kalau dilihat perkembangan lagu anak-anak yang seperti itu aku jadi bingung, mana yang lebih baik untuk mereka? Bicara cinta atau menyanyikan lagu aneh yang tidak masuk akal dan (bisa jadi) mengajarkan yang nggak bener?

Sekarang aku benar-benar merindukan sosok komposer lagu anak-anak yang bermutu yang dapat menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia nanti dengan lagu-lagunya yang mendidik. Ada kah?

Selasa, 18 Oktober 2011

ice skating



I went to Grand City Mall Surabaya when I had my stase luar together with my friends. We planned to do ice skating. There were 6 sessions during a day and we got the 5th session start from 18.15 until 19.45 (1,5 hours per session). At first I thought it would be too long for us having 1,5 hours to do ice skating. I wondered if I could stand to be there due to the cold environment (I suffer from rhinitis vasomotor, FYI). But then I have to confirm that an ice skating arena is NOT as cold as I thought.
At least for the first 30 minutes.
After passed my first 30 minutes on ice skating arena I understand why they give us 1,5 hours to enjoy it. You have to experience the failure first to understand how to enjoy sliding on the arena.
I made plan to divide the 1,5 hours into 3 parts. The first part should be the adaptation session. I have to get use to walk there without any help. The second part is to learn the technique. I observed some people who already mastered it to know how they walked and stopped. And the last part is to enjoy the arena without any failure and master it.
Truthfully, I felt superior when I (finally) mastered it on my last part. Hehe. 
And, yes, you'll walk like penguin after finishing your round on ice skating arena. LOL!

Sabtu, 03 September 2011

childhood dream


Jamanku masih SD dulu kartun yang populer saat itu (khususnya untuk cewek) adalah Sailor Moon. Aku hampir selalu nonton setiap episodenya dan baca komiknya. Saat itu aku sangat sangat mengidolakan Sailor Jupiter. Kenapa? Karena dia bukan cewek yang manja. Dia paling kuat, bisa diandalkan, berani, dan (kalau nggak salah) paling tinggi di antara para sailor. Karena itu juga aku jadi suka warna hijau. Hahaha. Banyak yang mengidolakan Sailor Mars atau Venus karena rambutnya panjang, tapi favoritku tetap Makoto Kino, si Sailor Jupiter.
Selain Sailor Moon, kartun/anime yang populer saat itu adalah Gundam, terutama Gundam Wing. Untuk yang satu ini aku juga lumayan ngikuti karena ajakan dari sepupuku. Aku besar bersama sepupuku, laki-laki, yang seumuran denganmu. Pengaruh dia lumayan kuat juga, sehingga aku jadi cewek yang agak tomboi (bahkan sepertinya sampai sekarang juga). Dia suka gundam, aku ikutan suka. Tapi aku suka Sailor Moon, dia biasa aja. -_-
Karena banyaknya space-related thing yang aku tonton saat kecil, aku dengan percaya diri mengumumkan kalau besar nanti ingin jadi astronot. Tentu saja saat itu aku belum ngerti apa-apa tentang astronot. Yang aku tau kalau jadi astronot aku bisa jalan-jalan ke luar angkasa, jadi aku bisa lihat planet-planet beserta istana-istananya para sailor (yang ternyata diambil dari nama satelit para planet). Aku bisa ikutan perang bintang (ini terpengaruh gundam).

Intinya, AKU BAKAL KELIHATAN KEREN.


Tapi impianku dikandaskan begitu saja. Agak miris memang kalau mengingatnya. Karena itu tolong dijadikan pelajaran untuk semuanya, kalau nanti punya anak terutama masih seumuran SD, saat dia berkhayal tentang cita-citanya JANGAN langsung dikandaskan apalagi kalau dianggap cita-citanya agak 'mustahil'. Tanyakan dulu apa alasan dia bercita-cita seperti itu. Anak-anak punya khayalannya sendiri, tidak bisa kita campuradukkan dengan realita orang dewasa. Ini penting, karena akan mempengaruhi kondisi psikologis anak sampai ia dewasa. Paham? Sudah ada contohnya, soalnya. *tunjuk diri sendiri*

Dan kini, di usiaku sekarang, aku mencoba mewujudkan impianku menjadi astronot lewat papercraft. Sudah dijelaskan lewat postingan sebelumnya kalau aku sangat nganggur kan? Ini papercraftku yang kesekian.

MY DREAM COMES TRUE! :D

Oh, sorry for being so excited.

"Don't ever lose the wonder of the child within your eyes"
-Corrinne May-

Rabu, 31 Agustus 2011

papercraft


Selamat Hari Raya Idul Fitri! :D

Seperti biasa, tahun ini pun tidak ada kata mudik untuk keluargaku. Mudik juga ke mana coba, semuanya ada di Malang.
Tahun ini ada fenomena--yang sebenarnya sudah biasa terjadi--tentang penetapan kapan 1 Syawal. Sekali lagi rakyat dibingungkan dengan adanya 2 hari raya. Aku termasuk yang merayakan hari pertama. Karena itu hari kedua lebaran (atau hari pertama versi pemerintah) aku sudah nganggur di rumah, bermain dengan kertas, gunting, lem, dll.
Coba tebak apa yang aku buat?

Yap. Papercraft.


Bunga mawar kertas ini kerjaanku yang pertama waktu H-1 lebaran. Sengaja mau nyari yang gampang dulu sebagai permulaan.

Lalu H+1 aku mulai nyoba bikin rumah (atau toko roti?).


Rumah pertamaku berantakan hasilnya. -__-

Setelahnya aku berhasil menemukan web yang cukup bagus dalam menyediakan desain-desain papercraft. Ini dia: klik

Dan target hari ini adalah violin papercraft! Yay! Good luck for me! *pengangguran tingkat tinggi*

Jumat, 26 Agustus 2011

thank you



Well, psychiatry just left big impression for me. I've been questioning about some things since a long time ago; basically they're about my own personality. Why I'm like this, why I'm like that, I always curious what make me turn into this personality. Psychiatry answered them all. On my last day.
No need to say what I've been questioning about--it just part of my past time that I want to change. No one to be blamed about, not my parents nor my environment. It happened. The important thing is, I've learnt about it. I'll make myself as a great parent someday. I hope.
Overall, I (still) love my parents. :)

Thank you psychiatry! Thank you my parents!


PS: Please welcome me as your future cardiologist. Hehe.