Tampilkan postingan dengan label random. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label random. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juli 2013

mengejar sunset

Orang bilang berada di Gili Trawangan seperti berada di surga. Kalau begitu boleh lah aku mengatakan aku berada di surga. Surga yang sudah pernah aku bayangkan sebelumnya dan selalu ingin aku kunjungi. Surga yang ternyata agak berbeda dengan apa yang aku imajinasikan selama ini.Tak apa lah, yang penting aku di surga.

Kata orang tempat ini surga. Surga berarti harus dijelajahi. Segera kukayuh sepeda yang ada dan dengan penuh semangat kujelajah pulau surga ini. Jangan lupa bawa minum, kata pemilik bungalow. Hati-hati ada kawasan berpasir yang agak berat medannya, katanya lagi. Semua itu tak kuhiraukan. Biarkan aku menjelajah surga ini dengan caraku.

Surga yang mempesona ini habis aku jelajahi mengikuti jalur pantai hanya dalam waktu + 1 jam. Makan siang sudah tersedia. Namun porsi yang diberikan tidak seimbang dengan energi yang aku keluarkan selama mengayuh mengitari pulau. Aku masih lapar. Orang-orang beristirahat. Aku disuruh istirahat. Tapi aku lapar. Lapar sehingga tidak bisa tidur. Kubuka ranselku, kuambil bukuku. Lembar demi lembar aku baca. Masih lapar. Kuhampiri kamar sebelah, kuketuk pintunya dan adik pertamaku muncul. Kenapa, tanyanya. Ayo jalan-jalan cari makan, ajakku. Nggak, ah, aku masih ngantuk, ujarnya. Nanti saja jam 4 bangunkan aku lagi, pungkasnya lalu menutup pintu dan lanjut tidur.

Jam 4 sore waktu setempat. Tentu saja aku tidak tidur. Kubangunkan lagi adikku—tidak, kedua adikku tepatnya, yaitu Vito dan Oris, lalu Bintang—anak temannya mama—ikut bangun dan bergabung dengan kami. Oris tampak kurang senang aku bangunkan, tapi tetap kupaksa dia. Kami berjalan menyusuri tepi pantai ke arah selatan.

Surga memang tidak sempurna kalau tidak ada berbagai jenis makanan. Makanan lokal, luar, negara ini, negara itu. Namun sepertinya surga ini hanya ditujukan untuk mereka yang punya rejeki berlebih. Nggak punya duit jangan ke sini, nggak bisa makan nanti.

Aku ingin makan makanan luar, kataku. Kami belok ke sebuah restoran yang menawarkan paket lengkap masakan Italia, Meksiko, dll. Pesan piza saja buat rame-rame, ujarku. Mereka menurut. Lagipula aku yang bayar. Kami menunggu lama, tapi delapan potong piza habisnya dalam sekejap saja. Setelah itu kami lanjut berjalan ke selatan. Ada gelato di sisi kanan jalan. Coba yang rasa azzuri cream, pintaku. Vito dan Oris ikut mencoba.

Semakin ke selatan tampak ada pasar. Di depan pasar bisa lihat laut. Biru, tenang, damai, tampak pulau Lombok di kejauhan. Matahari semakin turun. Katanya sunset di sini bagus. Kalau kita jalan lurus ke arah barat—tanpa harus mengikuti jalur tepi pantai—apa cukup waktunya untuk mencapai sisi satunya dan melihat sunset, tanyaku. Tidak tahu, coba saja, kata yang lain. Kami memutuskan mencari jalan pintas—tidak lewat tepi pantai, namun memotong pulau dan berharap bisa ke sisi satunya.

Awal masuk, masih banyak penginapan. Mungkin semua rumah di sini dijadikan penginapan. Semakin masuk, tampak ada sekolah. Syukurlah pendidikan di pulau ini masih ada. Apa yang diajarkan di sini? Apakah Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib mengingat sekitar 60-70% manusia yang berkunjung ke pulau ini adalah orang asing? 

Semakin ke dalam, mulai tampak rumah asli. Rumah, bukan penginapan untuk pendatang. Rumah, yang sangat sederhana, kontras dengan penginapan-penginapan mewah yang berjajar di tepi pantai. Rumah yang hanya berupa gubuk kecil beratapkan seng. Bahasanya pun bukan Bahasa Inggris. Mereka menyapa kami dengan bahasa mereka, bahasa Sasak. Tampak penghuninya bersenda gurau sambil berbagi sate yang barusan mereka bakar. Satu kata: sederhana.

Semakin ke dalam, hutan. Hutan. Hutan lagi. Lapangan luas. Anak-anak bermain bola. Beberapa sepeda melintas. Jelas bukan sepeda yang disewakan untuk mengitari pulau. Cidomo sekali lewat. Tanpa penumpang, hanya si pemilik yang sepertinya akan pulang ke rumahnya. Hutan lagi. Hutan terus. Sampai kapan? Matahari tak bisa menunggu. Langit sudah berwarna oranye, namun garis pantai belum juga terlihat.

Di ujung sana tampak lapangan luas. Banyak sapi dan kerbau sedang asyik makan. Lewat sini saja bagaimana, tanyaku. Tidak mau, kalau kita dikejar atau ditanduk mereka gimana, ujar Bintang. Nggak bakal, kataku. Pokoknya nggak mau, lebih aman kita kembali, kata Bintang. Kami putar balik mencari jalan pulang.

Jalan setapak tampak di tengah-tengah padang rumput di sisi kanan. Ini kan tadi yang dilewati cidomo, kata Vito. Mungkin kita bisa ke pantai kalau lewat jalan ini, usul Bintang. Kami mencoba lewat jalur itu. Namun sayang, tidak sampai 100 meter perjalanan, langkah kami terhenti. Jalan itu hilang, bermuara ke lapangan luas dengan berhiaskan sapi dan kerbau. Vito dan Bintang yang tiba duluan berpandangan, lalu menoleh padaku dan Oris. Oke, saatnya kembali, ujar Bintang.

Ada jalan setapak lagi. Tidak, kataku. Kapok sudah cari jalan pintas, sambungku lagi. Kami kembali menyusuri jalur semula. Sayup-sayup terdengar azan maghrib. Lalu sekolah terlihat. Sebuah toko tampak di seberangnya. Ayo beli minum, ajak Vito. Kami memilih minuman. Seorang turis asing perempuan masuk dan mengobrol dengan penjaga toko. Bahkan penjaga toko kecil yang berlokasi agak mblusuk pun bisa Bahasa Inggris.

Pantai! Akhirnya garis pantai pun tampak. Dengan girang kami menyusuri garis pantai kembali ke arah utara menuju penginapan kami. Pelajaran hari ini : tidak semua jalan pintas dapat dicari dan dilewati.


Dari mana saja, tanya orang tua kami. Mencari sunset, jawabku. Dapat, tanya mereka lagi. Tidak, kami tersesat tadi, jawab Bintang. Vito dan Oris nyengir. Oalah, sampai tersesat segala, kata mamanya Bintang. Sekarang kalian mandi dulu, istirahat, lanjut beliau.

Bukan sunset yang pada akhirnya kami dapatkan, namun sisi lain dari surga ini. Sisi lain yang lebih berkesan ketimbang sekedar matahari terbenam.

Selasa, 01 Januari 2013

dokter dan sakit


“Dokter kok bisa sakit?”

Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali ya, makanya nggak bisa sakit.

Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his family, he has to take care for himself.

Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.

Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak yang datang dengan keluhan serupa.

Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus diminum.

Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada kondisiku.

Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.

Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara tidak sadar menganggap diri kami manusia seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin memburuk.

Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu, apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.

Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.

Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.

Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis? Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap individu.

Well, punya pasien seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D

Get well soon, doc.*ngomong sama cermin*

Sabtu, 20 Oktober 2012

Promise




Selesai baca twitku? Apa yang ada dalam pikiranmu?

Kalau kamu berharap ada suatu kisah mengharukan yang dianalogikan dengan hidup, maka silahkan kecewa sekarang juga karena cerita ini sama sekali tidak menarik. Lalu kenapa ditulis? Karena aku sedang nganggur dan menunggu ngantuk.

Kids, dari sekarang aku perlu menyampaikan bahwa suatu saat nanti kita semua yang kuliah bakal menghadapi kegalauan tentang skripsi. Tapi ada satu hal yang ingin aku tekankan. Kids, segalau apapun kamu, jangan pernah bikin perjanjian aneh-aneh, baik terhadap dirimu maupun terhadap siapapun itu. True story.

And everytime I wrote “true story”, I meant it. Literally.

Dulu saat semester enam, aku dan temanku mengalami kegalauan besar gara-gara skripsi. Saat itu kami luntang-lantung nggak jelas memikirkan nasib skripsi kami di sebuah gazebo kampus yang dikelilingi oleh kolam ikan. Kami termenung, saling menumpahkan uneg-uneg tentang skripsi, namun tidak berusaha mencari penyelesaian. Kami mengalihkan perhatian kami dan melihat ikan-ikan di sekitar kami berenang bahagia seolah mengejek kami, “hei, kami ikan nggak perlu skripsi lho!”

Kids, terkadang stres dan galau karena skripsi bisa membuatmu berhalusinasi, karena itu jangan pernah percaya pada apa yang muncul di pikiranmu saat galau. Karena saat itu yang aku dan temanku pikirkan hanya satu; memancing ikan-ikan yang ‘mengejek’ kami saat itu dan menggorengnya suatu hari nanti sebelum kami benar-benar lulus dan meninggalkan kampus.

You got the point? Kami membuat perjanjian untuk memancing ikan di kolam kampus.

Lalu waktu berlalu cukup lama, kids, dan berbagai upacara kelulusan telah kami lewati. Yudisium, sumpah, dan akhirnya H-1 wisuda. Itu berarti waktuku untuk berada di kampus sudah hampir habis. Dan janji itu belum terpenuhi. Karena merasa tidak ada waktu lagi, maka tepat H-1 wisuda yaitu kemarin, pagi hari, aku dan temanku datang ke kampus membawa...ehm, jala.

Iya, jala. Kecil kok, muat dimasukin ke tas.

Jam 9 pagi. Saat itu kampus belum terlalu rame. Kami sudah siap di gazebo membawa jala kecil di pinggir kolam. Kami sempat khawatir bakal ditegur sama tukang kebun atau tukang lainnya yang seliweran. Tapi tiap mereka melihat kami paling mereka cuma tanya, “Ngapain?” dan kami jawab, “Nyoba ngambil ikan” dan akan ditanggapi oleh mereka, “Oh. Ati-ati ya.” Mungkin mereka tau niat kami baik; cuma mau nyoba menjala ikan dan mengembalikannya lagi saat sudah ketangkep. Ya, dan memang itu tujuannya. Kami sudah nggak terpikir untuk menggorengnya. Lagian buat apa?

Kolam kampus ini punya banyak sekali ikan, kids. Tapi yang tidak kalian ketahui adalah ikan-ikan ini sebenarnya makhluk yang cerdas. Mereka bisa menyadari bahaya yang datang. Buktinya begitu aku dan temanku mendekat, ikan-ikan ini akan langsung berenang menjauh. Bahkan setelah beberapa lama, ikan-ikan ini akan langsung menjauh begitu tau kami berdiri dari kursi yang jaraknya beberapa meter dari kolam. Ckckck.

Tentu saja banyak ikan di kolam tidak menjamin kamu akan dengan mudah mendapatkan mereka, kids. Banyak faktor yang berperan dalam mengambil ikan, beberapa di antaranya adalah panjang jala, strategi yang matang, dan tentunya mental yang kuat karena kami sempat diliatin sama adik kelas. Lucky they didn’t recognize us as their seniors who already become doctors.

Setelah perjuangan menangkap ikan selama lebih kurang 45 menit kami pun menyerah. Tidak, kids, 45 menit bukan waktu yang singkat. Silahkan bayangkan sendiri kalau kalian jadi aku dan temanku, dua orang cewek di pinggir kolam bawa jala kecil berusaha menangkap ikan dan diliatin adik kelas plus diketawain tukang yang lewat. Bisa dibayangkan kan? Oke, 45 menit serasa 45 jam.

In the end, we didn’t get any fish at all. Mungkin Tuhan tau kalau salah satu dari ikan itu sempat tertangkap maka akan berdampak besar pada psikologisnya suatu hari nanti karena bisa jadi ia akan diejek teman-temannya, “Bego banget sih kamu, masa jala kecil gitu aja bisa ketangkep”.

Mungkin, kids, mungkin. Tidak ada salahnya kita berbaik sangka.

Karena itu, kids, jangan pernah percaya dengan ungkapan “tenang, masih banyak ikan di laut”. Ingat, kids, banyak ikan bukan berarti kamu pasti bisa menangkap salah satu dari mereka. Mungkin bisa, tapi tidak dalam waktu 45 menit.

Sekian dan selamat atas kelulusannya.

Selasa, 16 Oktober 2012

Clueless


Sometimes people dramatize their own life just because what run in their mind.
True story.

Jumat, 03 Februari 2012

Song


Malam itu seharusnya malam sebelum aku ujian akhir EM.

Dan, tentunya, malam itu seharusnya aku habiskan dengan belajar.

Tapi banyak hal random yang bermunculan di kepalaku dan akhirnya aku pun terlibat dalam beberapa diskusi tentang hal-hal random tersebut. Mulai dari mengapa saat Valentine tampak warna pink di mana-mana, apakah Sailor Pluto masih perlu ada sekalipun Pluto bukan lagi planet, dan membahas multilanguage pada lagu akhir-akhir ini.

Khusus untuk topik terakhir, seorang teman tiba-tiba memunculkan pernyataan kalau suatu hari nanti bisa jadi ada program yang langsung menerjemahkan lagu Korea menjadi lagu Jepang sehingga penyanyi tidak perlu take vocal dua kali. Hal ini mengacu pada tren artis Korea yang akhir-akhir ini banyak yang ingin debut di Jepang sehingga mereka membuat Japanese version dari lagu mereka. Tapi yang disayangkan adalah Japanese version hanyalah sebatas lagu tersebut diterjemahkan menjadi bahasa Jepang. Itu saja. Tidak ada yang baru. Tidak ada lagu yang dibuat khusus untuk memulai debut di Jepang.

Tapi tentu saja tidak semua artis Korea seperti itu. Ada juga yang memang khusus membuat lagu berbahasa Jepang dan tidak ada embel-embel Japanese version atau dibuat versi Korea-nya kelak. Terkadang Japanese version atau lagu-lagu debut berbahasa Jepang ini cukup dapat meredam kerinduan para fans artis Korea yang juga suka lagu Jepang (seperti aku). Hehe.

Lalu aku berpikir, bagaimana kalau ada fans Korea-Jepang yang cinta negeri membuat lagu? Bisa jadi lagunya nanti terdiri dari 4 bahasa sekaligus (ditambah bahasa Inggris). Jepang dan Korea sendiri sejak awal sudah sering memasukkan kata-kata bahasa Inggris dalam lagu-lagu mereka. Mungkin suatu saat nanti akan ada lagu 4 bahasa sekaligus yang dibuat oleh fans.

Bahasan tentang multilanguage ini membuatku teringat sebuah lagu anak-anak yang pernah aku dengar saat kecil dulu. Not the good one, tapi karena lirik dan videonya cukup 'aneh' aku jadi mengingatnya dengan baik (oh damn...). Lirik lagunya seperti ini:
"Sukurin, rasain, wo ai ni, ni hao ma, mahoni..."
Dulu saat masih kecil aku ingat pernah bertanya pada orangtuaku, "Apa itu wo ai ni, ni hao ma, dan mahoni?" dan kemudian aku menyadari itu bahasa Mandarin (kecuali mahoni yang ternyata nama pohon). Sekarang aku baru menyadari betapa anehnya lirik lagu ini. Apa coba hubungan 'sukurin, rasain' dengan 'wo ai ni, ni hao ma,  mahoni'? I don't get it. Apakah mereka sedang bermain shiritori (permainan sambung kata)? Dan keanehan itu semakin tampak saat aku mengingat bagian awal lagu itu:
"Pale si botak dicium unta gare-garenye mencuri siomay"
....semakin aneh, bukan?

Temanku berkomentar, "Jadi kalau dulu ada peringatan, 'Nak, jangan mencuri timun, nanti dimarahi pak tani' sekarang juga ada peringatan, 'Nak, jangan nyuri siomay juga, nanti kepalanya dicium onta', gitu?" LOL!

Sebenarnya lagu anak-anak juga tidak seburuk itu. Ada juga beberapa lagu anak-anak yang bagus seperti yang dinyanyikan Trio Kwek Kwek, Sherina, Tasya, dll. Tapi itu duluuu sekali, sampai kemudian seiring berjalannya waktu mereka bertambah dewasa dan lagu-lagu mereka tergeser oleh anak-anak yang tidak bisa menyanyi tapi tetap nekat muncul di TV dengan lirik lagu yang aneh (btw, masih ada yang ingat lagu 'Tikus Makan Sabun' kah?). Seingatku, setelah era lagu-lagu aneh itu tadi lagu anak-anak semakin jarang dan akhirnya hampir tidak ada.

Atau boleh lah kita bilang sudah punah.

Anak-anak jaman sekarang menyanyikan lagu orang dewasa. Anak-anak jaman sekarang nyanyi lagu cinta. Padahal aku dulu waktu masih kecil selalu merasa malu tiap kali menyanyikan lagu cinta. Aku selalu merasa aku belum pantas menyanyikan lagu orang dewasa seperti itu sehingga aku tidak mendengarkan lagu cinta sampai lulus SD.

Tapi kalau dilihat perkembangan lagu anak-anak yang seperti itu aku jadi bingung, mana yang lebih baik untuk mereka? Bicara cinta atau menyanyikan lagu aneh yang tidak masuk akal dan (bisa jadi) mengajarkan yang nggak bener?

Sekarang aku benar-benar merindukan sosok komposer lagu anak-anak yang bermutu yang dapat menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia nanti dengan lagu-lagunya yang mendidik. Ada kah?