“Dokter kok bisa sakit?”
Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan
anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali
ya, makanya nggak bisa sakit.
Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter
mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari
keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok
dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his
family, he has to take care for himself.
Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku
yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.
Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang
cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya
tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan
demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak
yang datang dengan keluhan serupa.
Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya
kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem
langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus
diminum.
Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada
kondisiku.
Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah
cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum
perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja
walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau
mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada
lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat
sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.
Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru
membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara
tidak sadar menganggap diri kami manusia
seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu
yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar
istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin
memburuk.
Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu,
apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak
mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat
tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam
itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang
jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.
Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan
keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat
aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis
terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana
kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut
akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada
perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran
skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan
antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.
Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi
mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien
aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun
sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik
rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi
satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.
Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis?
Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada
ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka
sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus
dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat
proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap
individu.
Well, punya pasien
seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar