Minggu, 01 Desember 2013

Dear world

Just received a phone call from grandma and all she said was, “Dani, nanti di RS baru kamu jangan diam saja ya. Yang banyak omong. Ngobrol sama semua orang. Yang aktif. Yang banyak bergaul. Kamu dulu kan pendiam, sekarang harusnya sudah nggak kan?”

And I was like, “.......what the—“

Dear Grandma, from what you said to me I draw a conclusion that you’ve been assuming your granddaughter as the forever-alone-I-don’t-want-to-talk-to-you-go-away antisocial doctor.

Nice.  (laugh)

Keep assuming, Grandma—and all the people around me—while it’s common sense that the more we see someone, the less we know about that person.

You never know how my social life is.

You never know how I interact with my colleagues at my current hospital, or any other places.

You never know what I think about.

I pretty sure know how to behave like ‘normal’ people. Well, when I say ‘normal’ basically it’s just the term for Extrovert Ideal you’ve been thinking of the whole time. Correct me if I’m wrong.

If you want me to act like those ‘normal’ people, I would. I’m actually quite good at faking my social life.

Nah, was that surprise you?

Or maybe you still think of me as 7 year old little girl who know nothing about life?

Dear Grandma—and world—there is something I want to tell you.

You’ve been wrong all the time.

You thought that this world is just for Extrovert Ideal.

No. You’re wrong.

In fact, we—introverts—are living here too.

When we are alone, it doesn’t mean we are antisocial.

When we are quiet, it doesn’t mean we have nothing to say.

When we only have few friends, it means we value our friendship that we prefer to know deeply than to know widely.

We are comfortable with it, because there’s nothing wrong with being Introverts, just like there’s nothing wrong with being Extroverts.

I think I’m done here and thank you for your call.

Xoxo

Jumat, 05 Juli 2013

mengejar sunset

Orang bilang berada di Gili Trawangan seperti berada di surga. Kalau begitu boleh lah aku mengatakan aku berada di surga. Surga yang sudah pernah aku bayangkan sebelumnya dan selalu ingin aku kunjungi. Surga yang ternyata agak berbeda dengan apa yang aku imajinasikan selama ini.Tak apa lah, yang penting aku di surga.

Kata orang tempat ini surga. Surga berarti harus dijelajahi. Segera kukayuh sepeda yang ada dan dengan penuh semangat kujelajah pulau surga ini. Jangan lupa bawa minum, kata pemilik bungalow. Hati-hati ada kawasan berpasir yang agak berat medannya, katanya lagi. Semua itu tak kuhiraukan. Biarkan aku menjelajah surga ini dengan caraku.

Surga yang mempesona ini habis aku jelajahi mengikuti jalur pantai hanya dalam waktu + 1 jam. Makan siang sudah tersedia. Namun porsi yang diberikan tidak seimbang dengan energi yang aku keluarkan selama mengayuh mengitari pulau. Aku masih lapar. Orang-orang beristirahat. Aku disuruh istirahat. Tapi aku lapar. Lapar sehingga tidak bisa tidur. Kubuka ranselku, kuambil bukuku. Lembar demi lembar aku baca. Masih lapar. Kuhampiri kamar sebelah, kuketuk pintunya dan adik pertamaku muncul. Kenapa, tanyanya. Ayo jalan-jalan cari makan, ajakku. Nggak, ah, aku masih ngantuk, ujarnya. Nanti saja jam 4 bangunkan aku lagi, pungkasnya lalu menutup pintu dan lanjut tidur.

Jam 4 sore waktu setempat. Tentu saja aku tidak tidur. Kubangunkan lagi adikku—tidak, kedua adikku tepatnya, yaitu Vito dan Oris, lalu Bintang—anak temannya mama—ikut bangun dan bergabung dengan kami. Oris tampak kurang senang aku bangunkan, tapi tetap kupaksa dia. Kami berjalan menyusuri tepi pantai ke arah selatan.

Surga memang tidak sempurna kalau tidak ada berbagai jenis makanan. Makanan lokal, luar, negara ini, negara itu. Namun sepertinya surga ini hanya ditujukan untuk mereka yang punya rejeki berlebih. Nggak punya duit jangan ke sini, nggak bisa makan nanti.

Aku ingin makan makanan luar, kataku. Kami belok ke sebuah restoran yang menawarkan paket lengkap masakan Italia, Meksiko, dll. Pesan piza saja buat rame-rame, ujarku. Mereka menurut. Lagipula aku yang bayar. Kami menunggu lama, tapi delapan potong piza habisnya dalam sekejap saja. Setelah itu kami lanjut berjalan ke selatan. Ada gelato di sisi kanan jalan. Coba yang rasa azzuri cream, pintaku. Vito dan Oris ikut mencoba.

Semakin ke selatan tampak ada pasar. Di depan pasar bisa lihat laut. Biru, tenang, damai, tampak pulau Lombok di kejauhan. Matahari semakin turun. Katanya sunset di sini bagus. Kalau kita jalan lurus ke arah barat—tanpa harus mengikuti jalur tepi pantai—apa cukup waktunya untuk mencapai sisi satunya dan melihat sunset, tanyaku. Tidak tahu, coba saja, kata yang lain. Kami memutuskan mencari jalan pintas—tidak lewat tepi pantai, namun memotong pulau dan berharap bisa ke sisi satunya.

Awal masuk, masih banyak penginapan. Mungkin semua rumah di sini dijadikan penginapan. Semakin masuk, tampak ada sekolah. Syukurlah pendidikan di pulau ini masih ada. Apa yang diajarkan di sini? Apakah Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib mengingat sekitar 60-70% manusia yang berkunjung ke pulau ini adalah orang asing? 

Semakin ke dalam, mulai tampak rumah asli. Rumah, bukan penginapan untuk pendatang. Rumah, yang sangat sederhana, kontras dengan penginapan-penginapan mewah yang berjajar di tepi pantai. Rumah yang hanya berupa gubuk kecil beratapkan seng. Bahasanya pun bukan Bahasa Inggris. Mereka menyapa kami dengan bahasa mereka, bahasa Sasak. Tampak penghuninya bersenda gurau sambil berbagi sate yang barusan mereka bakar. Satu kata: sederhana.

Semakin ke dalam, hutan. Hutan. Hutan lagi. Lapangan luas. Anak-anak bermain bola. Beberapa sepeda melintas. Jelas bukan sepeda yang disewakan untuk mengitari pulau. Cidomo sekali lewat. Tanpa penumpang, hanya si pemilik yang sepertinya akan pulang ke rumahnya. Hutan lagi. Hutan terus. Sampai kapan? Matahari tak bisa menunggu. Langit sudah berwarna oranye, namun garis pantai belum juga terlihat.

Di ujung sana tampak lapangan luas. Banyak sapi dan kerbau sedang asyik makan. Lewat sini saja bagaimana, tanyaku. Tidak mau, kalau kita dikejar atau ditanduk mereka gimana, ujar Bintang. Nggak bakal, kataku. Pokoknya nggak mau, lebih aman kita kembali, kata Bintang. Kami putar balik mencari jalan pulang.

Jalan setapak tampak di tengah-tengah padang rumput di sisi kanan. Ini kan tadi yang dilewati cidomo, kata Vito. Mungkin kita bisa ke pantai kalau lewat jalan ini, usul Bintang. Kami mencoba lewat jalur itu. Namun sayang, tidak sampai 100 meter perjalanan, langkah kami terhenti. Jalan itu hilang, bermuara ke lapangan luas dengan berhiaskan sapi dan kerbau. Vito dan Bintang yang tiba duluan berpandangan, lalu menoleh padaku dan Oris. Oke, saatnya kembali, ujar Bintang.

Ada jalan setapak lagi. Tidak, kataku. Kapok sudah cari jalan pintas, sambungku lagi. Kami kembali menyusuri jalur semula. Sayup-sayup terdengar azan maghrib. Lalu sekolah terlihat. Sebuah toko tampak di seberangnya. Ayo beli minum, ajak Vito. Kami memilih minuman. Seorang turis asing perempuan masuk dan mengobrol dengan penjaga toko. Bahkan penjaga toko kecil yang berlokasi agak mblusuk pun bisa Bahasa Inggris.

Pantai! Akhirnya garis pantai pun tampak. Dengan girang kami menyusuri garis pantai kembali ke arah utara menuju penginapan kami. Pelajaran hari ini : tidak semua jalan pintas dapat dicari dan dilewati.


Dari mana saja, tanya orang tua kami. Mencari sunset, jawabku. Dapat, tanya mereka lagi. Tidak, kami tersesat tadi, jawab Bintang. Vito dan Oris nyengir. Oalah, sampai tersesat segala, kata mamanya Bintang. Sekarang kalian mandi dulu, istirahat, lanjut beliau.

Bukan sunset yang pada akhirnya kami dapatkan, namun sisi lain dari surga ini. Sisi lain yang lebih berkesan ketimbang sekedar matahari terbenam.

Selasa, 01 Januari 2013

dokter dan sakit


“Dokter kok bisa sakit?”

Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali ya, makanya nggak bisa sakit.

Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his family, he has to take care for himself.

Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.

Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak yang datang dengan keluhan serupa.

Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus diminum.

Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada kondisiku.

Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.

Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara tidak sadar menganggap diri kami manusia seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin memburuk.

Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu, apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.

Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.

Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.

Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis? Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap individu.

Well, punya pasien seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D

Get well soon, doc.*ngomong sama cermin*