Selasa, 01 Januari 2013

dokter dan sakit


“Dokter kok bisa sakit?”

Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali ya, makanya nggak bisa sakit.

Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his family, he has to take care for himself.

Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.

Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak yang datang dengan keluhan serupa.

Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus diminum.

Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada kondisiku.

Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.

Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara tidak sadar menganggap diri kami manusia seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin memburuk.

Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu, apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.

Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.

Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.

Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis? Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap individu.

Well, punya pasien seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D

Get well soon, doc.*ngomong sama cermin*