Kamis, 10 Mei 2012

Today's story


"Kalau sedang sedih maka berbuat baiklah agar sedihmu bisa terobati"

Kalimat random itu sudah aku pegang sejak masih kuliah dulu, terkait suatu peristiwa sederhana sepulang kuliah. Hari itu aku merasa sedih setelah tau nilaiku tidak memuaskan, lalu aku melihat seseorang memerlukan bantuan. Setelah membantunya dan mendapat ucapan terima kasih aku menyadari kalau sedihku langsung hilang seiring ucapan terima kasih itu muncul.

Lalu apakah maksudnya aku mengajarkan untuk berharap mendapat ucapan terima kasih? Bukan. Yang mau aku ceritakan kali ini sama sekali tidak ada hubungannya. ^^

Siang itu, 10 menit sebelum jadwal nonton video operasi supervisor, aku dan Dwi berencana mau lihat nilai ke TKP. Selama ini aku nggak mau lihat nilai, takut menjatuhkan mental nantinya. Tapi kali ini aku nekat mau lihat, sekalian persiapan menjelang kelulusan. Kami berjalan melewati parkiran dosen menuju TKP. Saat itu lah aku melihat seorang nenek dengan mata kanan ditutup kasa. Aku mengenali nenek itu sebagai salah satu pasien di poli hari ini. Aku membungkuk memberikan salam, ternyata nenek itu malah menggandengku.

"Nak, saya nggak bisa lihat jelas. Saya minta tuntun nggak apa ya?" ujar beliau. Aku mengangguk mengiyakan.
"Mau kemana, bu?" tanyaku.
"Ini lho, saya tadi habis operasi terus kok disuruh bayar, padahal saya pakai jamkesmas. Ini terus saya harus gimana?"

Nenek itu menunjukkan buku laporan operasi yang beliau pegang. Jujur saja, aku nggak pernah tau soal prosedur pengurusan pembayaran untuk jamkesmas. Nenek itu juga sepertinya kurang mendapat penjelasan yang lengkap. Karena bingung akhirnya kami antar beliau ke poli untuk bertanya ke perawat poli di lantai 2.

"Oh, ini nggak bayar. Cuma minta stempel aja kok. Tapi mintanya nggak di sini, di loket depan tempat daftar," kata pak perawat di poli.

Aku menoleh. Nenek itu tampaknya masih kebingungan, ditambah kondisi matanya seperti itu dan (ternyata) beliau punya OA. Kami semakin tidak tega meninggalkan beliau dan kami memutuskan mengantar beliau menyelesaikan semua urusannya.

Di loket lantai 2 kami disuruh turun ke loket pembayaran lantai 1. Di loket khusus jamkesmas, katanya. Pelan-pelan kami tuntun beliau untuk ke lantai 1. Sampai di loket sana beliau duduk istirahat sementara aku yang mengurus semua persyaratannya dengan berbekal semua kertas fotokopian yang beliau bawa. Ternyata ribet sekali urusan jamkesmas ini, satu bendel yang harus dikumpulkan berisi fotokopi segala macam kartu identitas. Untungnya ada seorang ibu yang membantuku untuk memilih-milih kertasnya. Rupanya ibu itu sudah terbiasa mengurus jamkesmas.

Urusan loket pembayaran tindakan operasi beres. Sekarang nenek itu harus menebus resep jamkesmasnya. Setelah ditanyakan ke petugas loket katanya resepnya mungkin bisa ditebus di depo IRNA 2 di belakang. Berjalan lah kami ke belakang untuk menebus resep. Tapi ternyata pihak depo menolak, alasannya nenek itu pasien rawat jalan sehingga harus menebus resep di apotek lantai 2 khusus jamkesmas.

Aku lihat nenek tadi tampak kelelahan duduk di depan apotek. Masih tega kah meminta beliau kembali ke lantai 2? Rasanya kok tidak ya. Kami pun berinisiatif untuk menguruskan resep beliau sementara beliau biar menunggu di depo situ saja. Dwi tetap di situ menemani beliau sementara aku naik ke apotek lantai 2 sambil membawa semua kertas fotokopian beliau.

Sampai di lantai 2 rupanya bendel yang harus dikumpulkan kurang 1 paket lagi, sementara punya nenek tadi sudah habis. Untung ada fotokopian di lantai 2 sehingga tidak perlu repot turun cari fotokopian. Setelah urusan beres aku mengantri di depan loket apotek jamkesmas.

Resep beres, tapi...
"Mbak, ini tetes matanya nggak ada. Adanya salep. Nggak apa?"
Jreeeeng!!! Apa lagi ini?
"Nggak ada itu karena habis atau memang tidak disediakan di jamkesmas?"
"Tidak disediakan."
"Tapi ada persediaannya kan di sini?"
"Nggak ada."

Waduh, apalagi ini? Aku hubungi Dwi di bawah untuk mengecek apa depo bawah menyediakan obatnya. Kalau ada biar nenek itu beli sendiri tanpa resep. Eh, ternyata juga nggak ada. Sekembalinya ke tempat nenek tadi aku KIE beliau soal obat yang tidak disediakan di jamkesmas dan alternatif untuk beli di apotek luar.

"Kalau mau di belakang RS ada apotek. Mungkin di situ dijual."
"Oh ya nggak apa, nak, beli sendiri saja."

Nenek itu mengeluarkan selembar uang 10 ribu rupiah. Aku pinjam Dwi 10 ribu rupiah lagi, jaga-jaga kalau uangnya nggak cukup. Dwi tetap di situ menemani nenek, sedangkan aku ke apotek di belakang RS.

Selama perjalanan aku dihubungi teman-teman di kelas yang sedang ada diskusi dengan supervisor. Katanya kami dicari. Waduh, gimana ini? Sejak tadi aku memang menghubungi seorang teman di kelas sambil mengabarkan kondisiku dan minta dikabari kalau ada apa-apa. Katanya sih supervisor nggak marah, tapi tetap saja rasanya nggak enak karena temanku juga belum sempat menjelaskan apa-apa ke supervisor soal kondisiku dan Dwi.

Di apotek aku sempat diberi obat tetes mata dengan harga 30 ribu rupiah. Dengan memelas aku minta dicarikan persediaan obat tetes yang generik saja. Untungnya apotekernya baik dan berhasil menemukan obat yang generik dengan harga 5 ribu saja. Aku kembali ke nenek tadi, menyerahkan obat dan uangnya, meng-KIE, lalu mengantarkan sampai ke depan RS. Di depan RS kami minta bantuan satpam untuk menyebrangkan nenek tadi dan membantu mencarikan angkot agar tidak salah naik.

Setelah memastikan nenek tadi aman bersama satpam kami cepat lari ke kelas. Banyak teman yang sudah pulang. Untungnya supervisor masih ada di ruangan. Dan alhamdulillah penjelasan kami diterima.

"Saya juga minta maaf sudah berburuk sangka ke kalian tadi," kata supervisor tadi. Sumpah ya, beliau terlihat sangat sangat sangat ganteng saat mengatakan hal itu. Makasih banyak, dok! *terharu*

Akhirnya aku dan Dwi belum sempat lihat nilai. Aku juga heran kenapa tiba-tiba air mataku menetes setelah menghadap supervisor tadi. Entah karena seharian melihat kondisi nenek tadi, atau lega karena tidak dimarahi. Tapi kali ini aku sadar hatiku yang selama ini kukira sudah teranestesi dan mati ternyata belum mati. :)

Minggu, 06 Mei 2012

Bicycle


Dinda: "Cariin carter kalo bisa, mobil pick up"

Malam itu (atau sore itu?) sekitar habis sholat maghrib aku lihat BB kedip-kedip. Ada apa ya? batinku. Ternyata ada notification dari whatsapp group dengan pesan seperti yang sudah tertulis di atas.

Dea: "Gimana caranya udah jam segini"
Dinda: "Alamat aku ngayuh dari Pasar Besar ke kos"
Dea: "Gak bisa minta anter ta?"
Dinda: "Udah malem, gak ada orang yang nganter. Atau ngayuhnya maraton, ayo ayo"
Mega: "Onni di mana sekarang?"
Dinda: "Di pasar besar. Tau toko polygon? Sebelahnya pas"
Mega: "Ya udah aku kesana"
Dea: "Lapo iki rek?"
Dinda: "Ayo De kesini, gantian ngayuh sepeda"
Mega: "Asal aku gak di rumah gak papa lah, aku males"
Dinda: "Asik sepedaan malming"

Aku masih bungkam membaca percakapan itu. Bukannya tidak peduli, tapi pikiranku saat itu masih terbagi dengan sesuatu yang tidak mengenakkan dan baru kerasa sangat menyakitkan malam itu. Setelah bengong mengikuti percakapan beberapa saat aku pun menimpali, "Apa aku datang juga? Mumpung deket dari tempatku."
"Gapapa ta? Gak malah jauh?"
"Gapapa. Aku berangkat sekarang ya."

Tanpa menunggu lama aku tutup semua tab internet yang sedang aku buka dan mematikan laptop. Setelah ganti baju dan mengambil hape serta dompet aku pun berangkat menuju lokasi.

Sampai di sana rupanya Dinda sudah pergi. Katanya sekarang dia sedang menunggu di daerah Balai Kota. Aku masih berputar-putar di sekitar kota lama. Bukannya apa, di sana memang banyak jalan satu arah yang agak merepotkan. Motor aku belokkan menuju Balai Kota.

Di Balai Kota tampak sepi. Kemana lagi anak ini? pikirku. Aku cek lagi whatsapp, sudah ada update terbaru kalau Dinda pindah ke daerah pasar bunga. Dan posisiku tidak memungkinkan untuk putar balik, apalagi saat itu malam minggu dan lalu lintas cukup ramai. Jadi lah aku nyari jalan muter sampai ke Kayutangan sana.

Akhirnya berhasil juga ketemu Dinda di depan masjid dekat pasar bunga. Dia naik sepeda barunya ditemani sepupunya yang naik motor.

"Onni!!! Akhirnya datang juga! Aku capek ngayuh ni.."
"Mau langsung aku gantikan sekarang?"
"Iya deh. Ini sekarang Dea nunggu di Lai Lai. Kita berhenti di sana aja ya, onn."

Mulai lah diriku naik sepeda, sementara motorku dikendarai Dinda. Ini bukan pertama kalinya aku naik sepeda di jalan raya yang ramai. Dulu aku pernah naik sepeda sampai Ijen sendirian. Tapi jelas suasana kali ini berbeda. Ini malam hari dan malam minggu (oke, terus kenapa?). Bersepeda malam hari memang ada sensasi tersendiri, terutama di jalan raya.

Sampai di Lai Lai kami tidak berhasil menemukan keberadaan Dea. Sementara posisi Lai Lai yang berada di pojokan membuat kami diserang banyak kendaraan dari berbagai sisi.

"Lanjut aja deh, onn. Kita nunggu di stadion aja."

Oke deh, ngayuh lagi kali ini sampai stadion. Bener-bener jomblo ngenes; malam minggu mancal sepeda baru ditemani cewek-cewek. I'll remember this moment for sure. XD

Sesampai di stadion bala bantuan mulai berdatangan. Dea dan Mega datang bawa motor masing-masing. Mereka berebut mau naik sepeda. Akhirnya Mega yang mendominasi.

"Aku bawa sepedanya sampai kos langsung," kata Mega.
"Serius, Meg? Jauh lho"
"Biarin. Aku lagi pingin mancal."

Yah, kalau memang itu permintaannya mau gimana lagi. Kami cuma bisa mendampingi di sekitar Mega biar dia aman selama perjalanan. Kos Dinda di sekitar Taman Makam Pahlawan dan jaraknya kalau naik sepeda motor dari stadion sekitar 10 menit. Cukup jauh (dan capek tentunya) kalau ditempuh dengan sepeda pancal.

Tapi kulihat Mega penuh semangat memancal sepeda itu. Err...sebenarnya bukan penuh semangat sih, tapi penuh amarah. Aku nggak tau apa yang sudah terjadi, tapi keliatan kalau Mega sedang emosi dan ingin meluapkannya dengan bersepeda. Mungkin.

Setelah perjalanan panjang sampai juga kami semua di kos Dinda. Air putih sudah disiapkan untuk menyambut kami, terutama Mega, yang mancal paling lama. Kami istirahat sebentar di depan kos sambil mengobrol.

Dari situ aku mengamati, kami sekarang berkumpul di sini dengan alasan yang berbeda-beda. Dinda sengaja beli sepeda malam minggu agar besok bisa langsung dipakai ke Car Free Day. Dea batal nonton konser malam itu sehingga mencari acara lain. Mega sedang suntuk dan tidak ingin di rumah seharian. Dan aku...yah, aku sedang ada masalah yang sekilas terlupakan setelah mancal beberapa saat tadi.

Apapun alasannya, yang penting malam itu kami bersenang-senang. Melupakan masalah yang ada. Terutama aku, untuk sesaat pikiranku terdistraksi terhadap hal lain. Semua berkat sebuah sepeda pancal.

Mungkin ini saatnya aku memperbaiki sepeda pancalku. :)