Tampilkan postingan dengan label life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label life. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juli 2013

mengejar sunset

Orang bilang berada di Gili Trawangan seperti berada di surga. Kalau begitu boleh lah aku mengatakan aku berada di surga. Surga yang sudah pernah aku bayangkan sebelumnya dan selalu ingin aku kunjungi. Surga yang ternyata agak berbeda dengan apa yang aku imajinasikan selama ini.Tak apa lah, yang penting aku di surga.

Kata orang tempat ini surga. Surga berarti harus dijelajahi. Segera kukayuh sepeda yang ada dan dengan penuh semangat kujelajah pulau surga ini. Jangan lupa bawa minum, kata pemilik bungalow. Hati-hati ada kawasan berpasir yang agak berat medannya, katanya lagi. Semua itu tak kuhiraukan. Biarkan aku menjelajah surga ini dengan caraku.

Surga yang mempesona ini habis aku jelajahi mengikuti jalur pantai hanya dalam waktu + 1 jam. Makan siang sudah tersedia. Namun porsi yang diberikan tidak seimbang dengan energi yang aku keluarkan selama mengayuh mengitari pulau. Aku masih lapar. Orang-orang beristirahat. Aku disuruh istirahat. Tapi aku lapar. Lapar sehingga tidak bisa tidur. Kubuka ranselku, kuambil bukuku. Lembar demi lembar aku baca. Masih lapar. Kuhampiri kamar sebelah, kuketuk pintunya dan adik pertamaku muncul. Kenapa, tanyanya. Ayo jalan-jalan cari makan, ajakku. Nggak, ah, aku masih ngantuk, ujarnya. Nanti saja jam 4 bangunkan aku lagi, pungkasnya lalu menutup pintu dan lanjut tidur.

Jam 4 sore waktu setempat. Tentu saja aku tidak tidur. Kubangunkan lagi adikku—tidak, kedua adikku tepatnya, yaitu Vito dan Oris, lalu Bintang—anak temannya mama—ikut bangun dan bergabung dengan kami. Oris tampak kurang senang aku bangunkan, tapi tetap kupaksa dia. Kami berjalan menyusuri tepi pantai ke arah selatan.

Surga memang tidak sempurna kalau tidak ada berbagai jenis makanan. Makanan lokal, luar, negara ini, negara itu. Namun sepertinya surga ini hanya ditujukan untuk mereka yang punya rejeki berlebih. Nggak punya duit jangan ke sini, nggak bisa makan nanti.

Aku ingin makan makanan luar, kataku. Kami belok ke sebuah restoran yang menawarkan paket lengkap masakan Italia, Meksiko, dll. Pesan piza saja buat rame-rame, ujarku. Mereka menurut. Lagipula aku yang bayar. Kami menunggu lama, tapi delapan potong piza habisnya dalam sekejap saja. Setelah itu kami lanjut berjalan ke selatan. Ada gelato di sisi kanan jalan. Coba yang rasa azzuri cream, pintaku. Vito dan Oris ikut mencoba.

Semakin ke selatan tampak ada pasar. Di depan pasar bisa lihat laut. Biru, tenang, damai, tampak pulau Lombok di kejauhan. Matahari semakin turun. Katanya sunset di sini bagus. Kalau kita jalan lurus ke arah barat—tanpa harus mengikuti jalur tepi pantai—apa cukup waktunya untuk mencapai sisi satunya dan melihat sunset, tanyaku. Tidak tahu, coba saja, kata yang lain. Kami memutuskan mencari jalan pintas—tidak lewat tepi pantai, namun memotong pulau dan berharap bisa ke sisi satunya.

Awal masuk, masih banyak penginapan. Mungkin semua rumah di sini dijadikan penginapan. Semakin masuk, tampak ada sekolah. Syukurlah pendidikan di pulau ini masih ada. Apa yang diajarkan di sini? Apakah Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib mengingat sekitar 60-70% manusia yang berkunjung ke pulau ini adalah orang asing? 

Semakin ke dalam, mulai tampak rumah asli. Rumah, bukan penginapan untuk pendatang. Rumah, yang sangat sederhana, kontras dengan penginapan-penginapan mewah yang berjajar di tepi pantai. Rumah yang hanya berupa gubuk kecil beratapkan seng. Bahasanya pun bukan Bahasa Inggris. Mereka menyapa kami dengan bahasa mereka, bahasa Sasak. Tampak penghuninya bersenda gurau sambil berbagi sate yang barusan mereka bakar. Satu kata: sederhana.

Semakin ke dalam, hutan. Hutan. Hutan lagi. Lapangan luas. Anak-anak bermain bola. Beberapa sepeda melintas. Jelas bukan sepeda yang disewakan untuk mengitari pulau. Cidomo sekali lewat. Tanpa penumpang, hanya si pemilik yang sepertinya akan pulang ke rumahnya. Hutan lagi. Hutan terus. Sampai kapan? Matahari tak bisa menunggu. Langit sudah berwarna oranye, namun garis pantai belum juga terlihat.

Di ujung sana tampak lapangan luas. Banyak sapi dan kerbau sedang asyik makan. Lewat sini saja bagaimana, tanyaku. Tidak mau, kalau kita dikejar atau ditanduk mereka gimana, ujar Bintang. Nggak bakal, kataku. Pokoknya nggak mau, lebih aman kita kembali, kata Bintang. Kami putar balik mencari jalan pulang.

Jalan setapak tampak di tengah-tengah padang rumput di sisi kanan. Ini kan tadi yang dilewati cidomo, kata Vito. Mungkin kita bisa ke pantai kalau lewat jalan ini, usul Bintang. Kami mencoba lewat jalur itu. Namun sayang, tidak sampai 100 meter perjalanan, langkah kami terhenti. Jalan itu hilang, bermuara ke lapangan luas dengan berhiaskan sapi dan kerbau. Vito dan Bintang yang tiba duluan berpandangan, lalu menoleh padaku dan Oris. Oke, saatnya kembali, ujar Bintang.

Ada jalan setapak lagi. Tidak, kataku. Kapok sudah cari jalan pintas, sambungku lagi. Kami kembali menyusuri jalur semula. Sayup-sayup terdengar azan maghrib. Lalu sekolah terlihat. Sebuah toko tampak di seberangnya. Ayo beli minum, ajak Vito. Kami memilih minuman. Seorang turis asing perempuan masuk dan mengobrol dengan penjaga toko. Bahkan penjaga toko kecil yang berlokasi agak mblusuk pun bisa Bahasa Inggris.

Pantai! Akhirnya garis pantai pun tampak. Dengan girang kami menyusuri garis pantai kembali ke arah utara menuju penginapan kami. Pelajaran hari ini : tidak semua jalan pintas dapat dicari dan dilewati.


Dari mana saja, tanya orang tua kami. Mencari sunset, jawabku. Dapat, tanya mereka lagi. Tidak, kami tersesat tadi, jawab Bintang. Vito dan Oris nyengir. Oalah, sampai tersesat segala, kata mamanya Bintang. Sekarang kalian mandi dulu, istirahat, lanjut beliau.

Bukan sunset yang pada akhirnya kami dapatkan, namun sisi lain dari surga ini. Sisi lain yang lebih berkesan ketimbang sekedar matahari terbenam.

Senin, 17 Desember 2012

Wings



Beberapa hari yang lalu aku random pergi karaoke bersama Res, walaupun sebenarnya rencana karaoke ini sama sekali tidak ada dalam daftar acara kami hari itu. Lagu-lagu yang kami nyanyikan pun random, tapi kebanyakan bertema ‘nostalgia’. Entah itu lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Korea, bahkan lagu anak-anak. Untuk yang terakhir memang murni kerandomanku sendiri. Sudah sering aku karaoke, tapi belum pernah aku mengecek kumpulan lagu anak-anak. Iseng aku nyanyikan beberapa lagu anak-anak (yang disusul dengan tatapan what-the-fuck-are-you-singing-right-now dari Res XD).

Menyanyikan lagu anak-anak memang beda sensasinya dari menyanyikan lagu untuk orang dewasa, terutama dari segi lirik lagu. Kebetulan lagu yang aku nyanyikan menceritakan tentang seorang anak yang berandai ingin pergi jauh setelah melihat banyak hal yang biasa ia lihat di sekitarnya pergi satu-persatu. Menurutku lirik lagu ini benar-benar polos, lugu, tapi juga ‘dalam’ maknanya.

Tentunya ini mengingatkanku pada kondisiku saat ini. Duluuu sekali saat baru masuk kuliah aku pernah mencoba membayangkan gimana rasanya saat awal lulus nanti. Mau ke mana aku? Mau ke mana teman-temanku? Seperti apa cerita hidup kami setelah itu? Sekarang setelah benar-benar lulus dan dihadapkan pada kondisi tersebut (di mana satu-persatu orang-orang di sekitarku pergi bahkan sejak sebelum aku lulus) aku mulai berpikir.

Beberapa orang datang dan pergi dari kehidupanku. Ada yang pergi sebentar, ada yang lama. Ada pergi jauh, ada yang dekat. Ada yang kembali, ada yang pergi selama-lamanya. Ada yang masih rutin kontak, ada yang hampir tidak pernah ada kabarnya.

Mereka pergi. Mereka ‘pindah’. Mereka mencari sesuatu yang lebih baik dari kondisi mereka yang sekarang. Tujuan mereka sama : mengejar apa yang sudah mereka impikan. Dan mereka menjadikan aku seperti anak di lagu itu; aku yang ingin ikut ‘mengejar’ mimpi bersama mereka.

Baik mereka yang masih di sini—di sekitarku—maupun mereka yang sudah jauh tapi masih sering berbagi cerita, mereka juga masih terus memperjuangkan impiannya.

Aku? Tentu saja aku juga. ^^

I’ve never had a dream before. But now when I have it, I want to dream big.”
                                                                                                           -Res-


PS: Ada yang tau lagu apa yang aku nyanyikan? Hehe.

Senin, 12 November 2012

farewell


To be honest, I still can't find any 'good' in 'goodbye' nor 'well' in 'farewell'.

Okay, who else want to leave this city, hah?! *cry*

人は皆それぞれに気持ちを抱えて
今はただ別々の道を歩んで行く
どこまでも続いてくこの every stage of life
Everyone is holding his or her own variety of feelings
It's just that each of us are now walking our own separate paths
This continues on and on, in every stage of life 

GreeeeN - Hito

Goodbye. 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Promise




Selesai baca twitku? Apa yang ada dalam pikiranmu?

Kalau kamu berharap ada suatu kisah mengharukan yang dianalogikan dengan hidup, maka silahkan kecewa sekarang juga karena cerita ini sama sekali tidak menarik. Lalu kenapa ditulis? Karena aku sedang nganggur dan menunggu ngantuk.

Kids, dari sekarang aku perlu menyampaikan bahwa suatu saat nanti kita semua yang kuliah bakal menghadapi kegalauan tentang skripsi. Tapi ada satu hal yang ingin aku tekankan. Kids, segalau apapun kamu, jangan pernah bikin perjanjian aneh-aneh, baik terhadap dirimu maupun terhadap siapapun itu. True story.

And everytime I wrote “true story”, I meant it. Literally.

Dulu saat semester enam, aku dan temanku mengalami kegalauan besar gara-gara skripsi. Saat itu kami luntang-lantung nggak jelas memikirkan nasib skripsi kami di sebuah gazebo kampus yang dikelilingi oleh kolam ikan. Kami termenung, saling menumpahkan uneg-uneg tentang skripsi, namun tidak berusaha mencari penyelesaian. Kami mengalihkan perhatian kami dan melihat ikan-ikan di sekitar kami berenang bahagia seolah mengejek kami, “hei, kami ikan nggak perlu skripsi lho!”

Kids, terkadang stres dan galau karena skripsi bisa membuatmu berhalusinasi, karena itu jangan pernah percaya pada apa yang muncul di pikiranmu saat galau. Karena saat itu yang aku dan temanku pikirkan hanya satu; memancing ikan-ikan yang ‘mengejek’ kami saat itu dan menggorengnya suatu hari nanti sebelum kami benar-benar lulus dan meninggalkan kampus.

You got the point? Kami membuat perjanjian untuk memancing ikan di kolam kampus.

Lalu waktu berlalu cukup lama, kids, dan berbagai upacara kelulusan telah kami lewati. Yudisium, sumpah, dan akhirnya H-1 wisuda. Itu berarti waktuku untuk berada di kampus sudah hampir habis. Dan janji itu belum terpenuhi. Karena merasa tidak ada waktu lagi, maka tepat H-1 wisuda yaitu kemarin, pagi hari, aku dan temanku datang ke kampus membawa...ehm, jala.

Iya, jala. Kecil kok, muat dimasukin ke tas.

Jam 9 pagi. Saat itu kampus belum terlalu rame. Kami sudah siap di gazebo membawa jala kecil di pinggir kolam. Kami sempat khawatir bakal ditegur sama tukang kebun atau tukang lainnya yang seliweran. Tapi tiap mereka melihat kami paling mereka cuma tanya, “Ngapain?” dan kami jawab, “Nyoba ngambil ikan” dan akan ditanggapi oleh mereka, “Oh. Ati-ati ya.” Mungkin mereka tau niat kami baik; cuma mau nyoba menjala ikan dan mengembalikannya lagi saat sudah ketangkep. Ya, dan memang itu tujuannya. Kami sudah nggak terpikir untuk menggorengnya. Lagian buat apa?

Kolam kampus ini punya banyak sekali ikan, kids. Tapi yang tidak kalian ketahui adalah ikan-ikan ini sebenarnya makhluk yang cerdas. Mereka bisa menyadari bahaya yang datang. Buktinya begitu aku dan temanku mendekat, ikan-ikan ini akan langsung berenang menjauh. Bahkan setelah beberapa lama, ikan-ikan ini akan langsung menjauh begitu tau kami berdiri dari kursi yang jaraknya beberapa meter dari kolam. Ckckck.

Tentu saja banyak ikan di kolam tidak menjamin kamu akan dengan mudah mendapatkan mereka, kids. Banyak faktor yang berperan dalam mengambil ikan, beberapa di antaranya adalah panjang jala, strategi yang matang, dan tentunya mental yang kuat karena kami sempat diliatin sama adik kelas. Lucky they didn’t recognize us as their seniors who already become doctors.

Setelah perjuangan menangkap ikan selama lebih kurang 45 menit kami pun menyerah. Tidak, kids, 45 menit bukan waktu yang singkat. Silahkan bayangkan sendiri kalau kalian jadi aku dan temanku, dua orang cewek di pinggir kolam bawa jala kecil berusaha menangkap ikan dan diliatin adik kelas plus diketawain tukang yang lewat. Bisa dibayangkan kan? Oke, 45 menit serasa 45 jam.

In the end, we didn’t get any fish at all. Mungkin Tuhan tau kalau salah satu dari ikan itu sempat tertangkap maka akan berdampak besar pada psikologisnya suatu hari nanti karena bisa jadi ia akan diejek teman-temannya, “Bego banget sih kamu, masa jala kecil gitu aja bisa ketangkep”.

Mungkin, kids, mungkin. Tidak ada salahnya kita berbaik sangka.

Karena itu, kids, jangan pernah percaya dengan ungkapan “tenang, masih banyak ikan di laut”. Ingat, kids, banyak ikan bukan berarti kamu pasti bisa menangkap salah satu dari mereka. Mungkin bisa, tapi tidak dalam waktu 45 menit.

Sekian dan selamat atas kelulusannya.

Rabu, 17 Oktober 2012

Final whistle


Kids, last night's football match really left big impression for me. It was between 2 great team in Europe, Spain vs France.

I'm sure you still remember your aunt Ika who loves football so much. One day your aunt Ika told me her most favorite life quote from her favorite sport. Here it is:

Never give up until the final whistle

And you know, kids, last night's match suited well with this quote. Literally.

Being in the same group with the exact same score made Spain and France competed really hard to win that time. Spain, as the winner of Euro 2008, World Cup 2010, and Euro 2012, of course being the one that favored. And it was clearly seen Spain dominated the game, even they scored the goal first in the first half. Casillas, Spain goalkeeper, only touched the ball once.

In the second half, France stepped up their attacks. Being left 0-1 by Spain made France tried hard to score the goal. But still the favored one proved their great defend.

It went to the injury time of second half. They had extra 3 minutes and the score still 1-0 for Spain. I was thinking of sleeping because the 3 minutes wouldn't change anything because Spain apparently still could played well though somewhat was overwhelmed with France's attack.

But, kids, something hold me not to leave my place until injury time ended. One of the France player scored the goal exactly on the last minute before the final whistle was blew. 1-1 for France.

It was the last minute, kids, and France did well to change the score from 0-1 to draw 1-1.

Of course I was disappointed because they score a draw, but how the France struggled was admirable. They didn't give up until the final whistle, like what your aunt Ika told me.

What would be happened if France lost? They would have to compete against other groups's runner-ups in order to qualify to the next step. And Spain, of course would be easier to qualify to the next step.

So, kids, here what I wanted to tell you; whatever happened to your life, never ever give up until the final whistle, just like what France did.

True story.

Selasa, 16 Oktober 2012

Clueless


Sometimes people dramatize their own life just because what run in their mind.
True story.

Kamis, 10 Mei 2012

Today's story


"Kalau sedang sedih maka berbuat baiklah agar sedihmu bisa terobati"

Kalimat random itu sudah aku pegang sejak masih kuliah dulu, terkait suatu peristiwa sederhana sepulang kuliah. Hari itu aku merasa sedih setelah tau nilaiku tidak memuaskan, lalu aku melihat seseorang memerlukan bantuan. Setelah membantunya dan mendapat ucapan terima kasih aku menyadari kalau sedihku langsung hilang seiring ucapan terima kasih itu muncul.

Lalu apakah maksudnya aku mengajarkan untuk berharap mendapat ucapan terima kasih? Bukan. Yang mau aku ceritakan kali ini sama sekali tidak ada hubungannya. ^^

Siang itu, 10 menit sebelum jadwal nonton video operasi supervisor, aku dan Dwi berencana mau lihat nilai ke TKP. Selama ini aku nggak mau lihat nilai, takut menjatuhkan mental nantinya. Tapi kali ini aku nekat mau lihat, sekalian persiapan menjelang kelulusan. Kami berjalan melewati parkiran dosen menuju TKP. Saat itu lah aku melihat seorang nenek dengan mata kanan ditutup kasa. Aku mengenali nenek itu sebagai salah satu pasien di poli hari ini. Aku membungkuk memberikan salam, ternyata nenek itu malah menggandengku.

"Nak, saya nggak bisa lihat jelas. Saya minta tuntun nggak apa ya?" ujar beliau. Aku mengangguk mengiyakan.
"Mau kemana, bu?" tanyaku.
"Ini lho, saya tadi habis operasi terus kok disuruh bayar, padahal saya pakai jamkesmas. Ini terus saya harus gimana?"

Nenek itu menunjukkan buku laporan operasi yang beliau pegang. Jujur saja, aku nggak pernah tau soal prosedur pengurusan pembayaran untuk jamkesmas. Nenek itu juga sepertinya kurang mendapat penjelasan yang lengkap. Karena bingung akhirnya kami antar beliau ke poli untuk bertanya ke perawat poli di lantai 2.

"Oh, ini nggak bayar. Cuma minta stempel aja kok. Tapi mintanya nggak di sini, di loket depan tempat daftar," kata pak perawat di poli.

Aku menoleh. Nenek itu tampaknya masih kebingungan, ditambah kondisi matanya seperti itu dan (ternyata) beliau punya OA. Kami semakin tidak tega meninggalkan beliau dan kami memutuskan mengantar beliau menyelesaikan semua urusannya.

Di loket lantai 2 kami disuruh turun ke loket pembayaran lantai 1. Di loket khusus jamkesmas, katanya. Pelan-pelan kami tuntun beliau untuk ke lantai 1. Sampai di loket sana beliau duduk istirahat sementara aku yang mengurus semua persyaratannya dengan berbekal semua kertas fotokopian yang beliau bawa. Ternyata ribet sekali urusan jamkesmas ini, satu bendel yang harus dikumpulkan berisi fotokopi segala macam kartu identitas. Untungnya ada seorang ibu yang membantuku untuk memilih-milih kertasnya. Rupanya ibu itu sudah terbiasa mengurus jamkesmas.

Urusan loket pembayaran tindakan operasi beres. Sekarang nenek itu harus menebus resep jamkesmasnya. Setelah ditanyakan ke petugas loket katanya resepnya mungkin bisa ditebus di depo IRNA 2 di belakang. Berjalan lah kami ke belakang untuk menebus resep. Tapi ternyata pihak depo menolak, alasannya nenek itu pasien rawat jalan sehingga harus menebus resep di apotek lantai 2 khusus jamkesmas.

Aku lihat nenek tadi tampak kelelahan duduk di depan apotek. Masih tega kah meminta beliau kembali ke lantai 2? Rasanya kok tidak ya. Kami pun berinisiatif untuk menguruskan resep beliau sementara beliau biar menunggu di depo situ saja. Dwi tetap di situ menemani beliau sementara aku naik ke apotek lantai 2 sambil membawa semua kertas fotokopian beliau.

Sampai di lantai 2 rupanya bendel yang harus dikumpulkan kurang 1 paket lagi, sementara punya nenek tadi sudah habis. Untung ada fotokopian di lantai 2 sehingga tidak perlu repot turun cari fotokopian. Setelah urusan beres aku mengantri di depan loket apotek jamkesmas.

Resep beres, tapi...
"Mbak, ini tetes matanya nggak ada. Adanya salep. Nggak apa?"
Jreeeeng!!! Apa lagi ini?
"Nggak ada itu karena habis atau memang tidak disediakan di jamkesmas?"
"Tidak disediakan."
"Tapi ada persediaannya kan di sini?"
"Nggak ada."

Waduh, apalagi ini? Aku hubungi Dwi di bawah untuk mengecek apa depo bawah menyediakan obatnya. Kalau ada biar nenek itu beli sendiri tanpa resep. Eh, ternyata juga nggak ada. Sekembalinya ke tempat nenek tadi aku KIE beliau soal obat yang tidak disediakan di jamkesmas dan alternatif untuk beli di apotek luar.

"Kalau mau di belakang RS ada apotek. Mungkin di situ dijual."
"Oh ya nggak apa, nak, beli sendiri saja."

Nenek itu mengeluarkan selembar uang 10 ribu rupiah. Aku pinjam Dwi 10 ribu rupiah lagi, jaga-jaga kalau uangnya nggak cukup. Dwi tetap di situ menemani nenek, sedangkan aku ke apotek di belakang RS.

Selama perjalanan aku dihubungi teman-teman di kelas yang sedang ada diskusi dengan supervisor. Katanya kami dicari. Waduh, gimana ini? Sejak tadi aku memang menghubungi seorang teman di kelas sambil mengabarkan kondisiku dan minta dikabari kalau ada apa-apa. Katanya sih supervisor nggak marah, tapi tetap saja rasanya nggak enak karena temanku juga belum sempat menjelaskan apa-apa ke supervisor soal kondisiku dan Dwi.

Di apotek aku sempat diberi obat tetes mata dengan harga 30 ribu rupiah. Dengan memelas aku minta dicarikan persediaan obat tetes yang generik saja. Untungnya apotekernya baik dan berhasil menemukan obat yang generik dengan harga 5 ribu saja. Aku kembali ke nenek tadi, menyerahkan obat dan uangnya, meng-KIE, lalu mengantarkan sampai ke depan RS. Di depan RS kami minta bantuan satpam untuk menyebrangkan nenek tadi dan membantu mencarikan angkot agar tidak salah naik.

Setelah memastikan nenek tadi aman bersama satpam kami cepat lari ke kelas. Banyak teman yang sudah pulang. Untungnya supervisor masih ada di ruangan. Dan alhamdulillah penjelasan kami diterima.

"Saya juga minta maaf sudah berburuk sangka ke kalian tadi," kata supervisor tadi. Sumpah ya, beliau terlihat sangat sangat sangat ganteng saat mengatakan hal itu. Makasih banyak, dok! *terharu*

Akhirnya aku dan Dwi belum sempat lihat nilai. Aku juga heran kenapa tiba-tiba air mataku menetes setelah menghadap supervisor tadi. Entah karena seharian melihat kondisi nenek tadi, atau lega karena tidak dimarahi. Tapi kali ini aku sadar hatiku yang selama ini kukira sudah teranestesi dan mati ternyata belum mati. :)

Selasa, 18 Oktober 2011

ice skating



I went to Grand City Mall Surabaya when I had my stase luar together with my friends. We planned to do ice skating. There were 6 sessions during a day and we got the 5th session start from 18.15 until 19.45 (1,5 hours per session). At first I thought it would be too long for us having 1,5 hours to do ice skating. I wondered if I could stand to be there due to the cold environment (I suffer from rhinitis vasomotor, FYI). But then I have to confirm that an ice skating arena is NOT as cold as I thought.
At least for the first 30 minutes.
After passed my first 30 minutes on ice skating arena I understand why they give us 1,5 hours to enjoy it. You have to experience the failure first to understand how to enjoy sliding on the arena.
I made plan to divide the 1,5 hours into 3 parts. The first part should be the adaptation session. I have to get use to walk there without any help. The second part is to learn the technique. I observed some people who already mastered it to know how they walked and stopped. And the last part is to enjoy the arena without any failure and master it.
Truthfully, I felt superior when I (finally) mastered it on my last part. Hehe. 
And, yes, you'll walk like penguin after finishing your round on ice skating arena. LOL!

Sabtu, 03 September 2011

childhood dream


Jamanku masih SD dulu kartun yang populer saat itu (khususnya untuk cewek) adalah Sailor Moon. Aku hampir selalu nonton setiap episodenya dan baca komiknya. Saat itu aku sangat sangat mengidolakan Sailor Jupiter. Kenapa? Karena dia bukan cewek yang manja. Dia paling kuat, bisa diandalkan, berani, dan (kalau nggak salah) paling tinggi di antara para sailor. Karena itu juga aku jadi suka warna hijau. Hahaha. Banyak yang mengidolakan Sailor Mars atau Venus karena rambutnya panjang, tapi favoritku tetap Makoto Kino, si Sailor Jupiter.
Selain Sailor Moon, kartun/anime yang populer saat itu adalah Gundam, terutama Gundam Wing. Untuk yang satu ini aku juga lumayan ngikuti karena ajakan dari sepupuku. Aku besar bersama sepupuku, laki-laki, yang seumuran denganmu. Pengaruh dia lumayan kuat juga, sehingga aku jadi cewek yang agak tomboi (bahkan sepertinya sampai sekarang juga). Dia suka gundam, aku ikutan suka. Tapi aku suka Sailor Moon, dia biasa aja. -_-
Karena banyaknya space-related thing yang aku tonton saat kecil, aku dengan percaya diri mengumumkan kalau besar nanti ingin jadi astronot. Tentu saja saat itu aku belum ngerti apa-apa tentang astronot. Yang aku tau kalau jadi astronot aku bisa jalan-jalan ke luar angkasa, jadi aku bisa lihat planet-planet beserta istana-istananya para sailor (yang ternyata diambil dari nama satelit para planet). Aku bisa ikutan perang bintang (ini terpengaruh gundam).

Intinya, AKU BAKAL KELIHATAN KEREN.


Tapi impianku dikandaskan begitu saja. Agak miris memang kalau mengingatnya. Karena itu tolong dijadikan pelajaran untuk semuanya, kalau nanti punya anak terutama masih seumuran SD, saat dia berkhayal tentang cita-citanya JANGAN langsung dikandaskan apalagi kalau dianggap cita-citanya agak 'mustahil'. Tanyakan dulu apa alasan dia bercita-cita seperti itu. Anak-anak punya khayalannya sendiri, tidak bisa kita campuradukkan dengan realita orang dewasa. Ini penting, karena akan mempengaruhi kondisi psikologis anak sampai ia dewasa. Paham? Sudah ada contohnya, soalnya. *tunjuk diri sendiri*

Dan kini, di usiaku sekarang, aku mencoba mewujudkan impianku menjadi astronot lewat papercraft. Sudah dijelaskan lewat postingan sebelumnya kalau aku sangat nganggur kan? Ini papercraftku yang kesekian.

MY DREAM COMES TRUE! :D

Oh, sorry for being so excited.

"Don't ever lose the wonder of the child within your eyes"
-Corrinne May-

Jumat, 26 Agustus 2011

thank you



Well, psychiatry just left big impression for me. I've been questioning about some things since a long time ago; basically they're about my own personality. Why I'm like this, why I'm like that, I always curious what make me turn into this personality. Psychiatry answered them all. On my last day.
No need to say what I've been questioning about--it just part of my past time that I want to change. No one to be blamed about, not my parents nor my environment. It happened. The important thing is, I've learnt about it. I'll make myself as a great parent someday. I hope.
Overall, I (still) love my parents. :)

Thank you psychiatry! Thank you my parents!


PS: Please welcome me as your future cardiologist. Hehe.