Orang bilang berada di Gili Trawangan
seperti berada di surga. Kalau begitu boleh lah aku mengatakan aku berada di
surga. Surga yang sudah pernah aku bayangkan sebelumnya dan selalu ingin aku
kunjungi. Surga yang ternyata agak berbeda dengan apa yang aku imajinasikan
selama ini.Tak apa lah, yang penting aku di surga.
Kata orang tempat ini surga. Surga berarti
harus dijelajahi. Segera kukayuh sepeda yang ada dan dengan penuh semangat
kujelajah pulau surga ini. Jangan lupa bawa minum, kata pemilik bungalow.
Hati-hati ada kawasan berpasir yang agak berat medannya, katanya lagi. Semua
itu tak kuhiraukan. Biarkan aku menjelajah surga ini dengan caraku.
Surga yang mempesona ini habis aku jelajahi
mengikuti jalur pantai hanya dalam waktu + 1 jam. Makan siang sudah
tersedia. Namun porsi yang diberikan tidak seimbang dengan energi yang aku
keluarkan selama mengayuh mengitari pulau. Aku masih lapar. Orang-orang
beristirahat. Aku disuruh istirahat. Tapi aku lapar. Lapar sehingga tidak bisa
tidur. Kubuka ranselku, kuambil bukuku. Lembar demi lembar aku baca. Masih
lapar. Kuhampiri kamar sebelah, kuketuk pintunya dan adik pertamaku muncul.
Kenapa, tanyanya. Ayo jalan-jalan cari makan, ajakku. Nggak, ah, aku masih
ngantuk, ujarnya. Nanti saja jam 4 bangunkan aku lagi, pungkasnya lalu menutup
pintu dan lanjut tidur.
Jam 4 sore waktu setempat. Tentu saja aku
tidak tidur. Kubangunkan lagi adikku—tidak, kedua adikku tepatnya, yaitu Vito
dan Oris, lalu Bintang—anak temannya mama—ikut bangun dan bergabung dengan
kami. Oris tampak kurang senang aku bangunkan, tapi tetap kupaksa dia. Kami
berjalan menyusuri tepi pantai ke arah selatan.
Surga memang tidak sempurna kalau tidak ada
berbagai jenis makanan. Makanan lokal, luar, negara ini, negara itu. Namun
sepertinya surga ini hanya ditujukan untuk mereka yang punya rejeki berlebih.
Nggak punya duit jangan ke sini, nggak bisa makan nanti.
Aku ingin makan makanan luar, kataku. Kami
belok ke sebuah restoran yang menawarkan paket lengkap masakan Italia, Meksiko,
dll. Pesan piza saja buat rame-rame, ujarku. Mereka menurut. Lagipula aku yang
bayar. Kami menunggu lama, tapi delapan potong piza habisnya dalam sekejap
saja. Setelah itu kami lanjut berjalan ke selatan. Ada gelato di sisi kanan jalan. Coba yang rasa azzuri cream, pintaku. Vito dan Oris ikut mencoba.
Semakin ke selatan tampak ada pasar. Di
depan pasar bisa lihat laut. Biru, tenang, damai, tampak pulau Lombok di
kejauhan. Matahari semakin turun. Katanya sunset
di sini bagus. Kalau kita jalan lurus ke arah barat—tanpa harus mengikuti
jalur tepi pantai—apa cukup waktunya untuk mencapai sisi satunya dan melihat sunset, tanyaku. Tidak tahu, coba saja,
kata yang lain. Kami memutuskan mencari jalan pintas—tidak lewat tepi pantai,
namun memotong pulau dan berharap bisa ke sisi satunya.
Awal masuk, masih banyak penginapan.
Mungkin semua rumah di sini dijadikan penginapan. Semakin masuk, tampak ada
sekolah. Syukurlah pendidikan di pulau ini masih ada. Apa yang diajarkan di
sini? Apakah Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib mengingat sekitar 60-70%
manusia yang berkunjung ke pulau ini adalah orang asing?
Semakin ke dalam,
mulai tampak rumah asli. Rumah, bukan penginapan untuk pendatang. Rumah, yang
sangat sederhana, kontras dengan penginapan-penginapan mewah yang berjajar di tepi
pantai. Rumah yang hanya berupa gubuk
kecil beratapkan seng. Bahasanya pun bukan Bahasa
Inggris. Mereka menyapa kami dengan bahasa mereka, bahasa Sasak. Tampak penghuninya bersenda gurau sambil berbagi
sate yang barusan mereka bakar. Satu kata: sederhana.
Semakin ke dalam, hutan. Hutan. Hutan lagi.
Lapangan luas. Anak-anak bermain bola. Beberapa sepeda melintas. Jelas bukan
sepeda yang disewakan untuk mengitari pulau. Cidomo sekali lewat. Tanpa
penumpang, hanya si pemilik yang sepertinya akan pulang ke rumahnya. Hutan
lagi. Hutan terus. Sampai kapan? Matahari tak bisa menunggu. Langit sudah
berwarna oranye, namun garis pantai belum juga terlihat.
Di ujung sana tampak lapangan luas. Banyak
sapi dan kerbau sedang asyik makan. Lewat sini saja bagaimana, tanyaku. Tidak
mau, kalau kita dikejar atau ditanduk mereka gimana, ujar Bintang. Nggak bakal,
kataku. Pokoknya nggak mau, lebih aman kita kembali, kata Bintang. Kami putar
balik mencari jalan pulang.
Jalan setapak tampak di tengah-tengah
padang rumput di sisi kanan. Ini kan tadi yang dilewati cidomo, kata Vito.
Mungkin kita bisa ke pantai kalau lewat jalan ini, usul Bintang. Kami mencoba
lewat jalur itu. Namun sayang, tidak sampai 100 meter perjalanan, langkah kami
terhenti. Jalan itu hilang, bermuara ke lapangan luas dengan berhiaskan sapi
dan kerbau. Vito dan Bintang yang tiba duluan berpandangan, lalu menoleh padaku
dan Oris. Oke, saatnya kembali, ujar Bintang.
Ada jalan setapak lagi. Tidak, kataku.
Kapok sudah cari jalan pintas, sambungku lagi. Kami kembali menyusuri jalur
semula. Sayup-sayup terdengar azan maghrib. Lalu sekolah terlihat. Sebuah toko
tampak di seberangnya. Ayo beli minum, ajak Vito. Kami memilih minuman. Seorang
turis asing perempuan masuk dan mengobrol dengan penjaga toko. Bahkan penjaga
toko kecil yang berlokasi agak mblusuk
pun bisa Bahasa Inggris.
Pantai! Akhirnya garis pantai pun tampak.
Dengan girang kami menyusuri garis pantai kembali ke arah utara menuju
penginapan kami. Pelajaran hari ini : tidak semua jalan pintas dapat dicari dan
dilewati.
Dari mana saja, tanya orang tua kami.
Mencari sunset, jawabku. Dapat, tanya
mereka lagi. Tidak, kami tersesat tadi, jawab Bintang. Vito dan Oris nyengir. Oalah, sampai tersesat segala,
kata mamanya Bintang. Sekarang kalian mandi dulu, istirahat, lanjut beliau.
Bukan sunset yang pada akhirnya kami dapatkan, namun sisi lain dari surga ini. Sisi lain yang lebih berkesan ketimbang sekedar matahari terbenam.