So it's September already. More than 8 months since my last visit to this blog. In less than 3 months, I'm going to marry someone I met less than 9 months ago. People keep wondering about my decision. Why in hurry?
I believe that there is always perfect timing for everything. One thing for sure is our timeline might be different with the others. They thought I'm in hurry, but they concluded that based on their own timeline. Hurry or not, it just matter of perspective after all.
I tried to make vision about the future, but not everything could be visioned of. Sometimes it makes me perplexed, the other time it hits my nerves, but most of the time I'm very excited about it.
If it's with this person, I'm ready.
the morning star
From micro to macro. Write like nobody will read it.
Jumat, 16 September 2016
Jumat, 01 Januari 2016
Apparently, it's 2016
Yes, today is 2016.
No, I have nothing to do on my day off so I decide to check this blog. Last visit was 2013, so it's been 2 years I've been abandoning this blog. Not that I don't have anything to write, I'm just too lazy to write it down here.
The reason why I re-visit this blog is not about writing New Year Resolutions or whatever it is. I want to complaint but I don't know to whom I should or what exactly I want to complaint about.
Starting from this morning, it was bright morning after all. The sky was blue, the bluest clearest sky I ever seen. The weather was nice. Everyone looked so happy welcoming this new year. Mom were getting ready to have reunion with her friends. Have I told you that one of my bestie actually asked, "Just how many gangs do your mom have? She seems like having reunion every week!" and I couldn't provide proper answer? Well, that's my mom. Dad was also going out somewhere with his friends.
Meanwhile, I enjoyed something that I rarely enjoy: the gravity of my bed. Just like any other time, some thoughts popped out in my mind, and after few minutes I had existential crisis. I wanted to scream but nothing came out. Thing I knew for sure was I needed help, but I didn't know what kind of help I actually need. I set my phone in airplane mode, went out, and got more depressed when I looked at the clear blue sky. It was too bright I couldn't handle it.
After few hours, it stopped.
No, nothing happened. Don't worry, I'm safe.
Having existential crisis is not something unsual for me, but today it made me going mad. And made me (almost) being self-destructive.
Until I write this blog, I still have no idea what should I do. The only thing I know for sure is I'm okay for now and I won't do any harm.
I guess this is my first post in 2016. Not bright enough to start your year, so don't read it. Ups, you've done it. Can't help,
Minggu, 01 Desember 2013
Dear world
Just received a phone call from grandma and all she said
was, “Dani, nanti di RS baru kamu jangan diam saja ya. Yang banyak omong.
Ngobrol sama semua orang. Yang aktif. Yang banyak bergaul. Kamu dulu kan
pendiam, sekarang harusnya sudah nggak kan?”
And I was like, “.......what the—“
Dear Grandma, from what you said to me I draw a conclusion
that you’ve been assuming your granddaughter as the forever-alone-I-don’t-want-to-talk-to-you-go-away
antisocial doctor.
Nice. (laugh)
Keep assuming, Grandma—and all the people around me—while it’s
common sense that the more we see someone, the less we know about that person.
You never know how my social life is.
You never know how I interact with my colleagues at my
current hospital, or any other places.
You never know what I think about.
I pretty sure know how to behave like ‘normal’ people. Well,
when I say ‘normal’ basically it’s just the term for Extrovert Ideal you’ve
been thinking of the whole time. Correct me if I’m wrong.
If you want me to act like those ‘normal’ people, I would. I’m
actually quite good at faking my social life.
Nah, was that surprise you?
Or maybe you still think of me as 7 year old little girl who
know nothing about life?
Dear Grandma—and world—there is something I want to tell
you.
You’ve been wrong all the time.
You thought that this world is just for Extrovert Ideal.
No. You’re wrong.
In fact, we—introverts—are living here too.
When we are alone, it doesn’t mean we are antisocial.
When we are quiet, it doesn’t mean we have nothing to say.
When we only have few friends, it means we value our
friendship that we prefer to know deeply than to know widely.
We are comfortable with it, because there’s nothing wrong
with being Introverts, just like there’s nothing wrong with being Extroverts.
I think I’m done here and thank you for your call.
Jumat, 05 Juli 2013
mengejar sunset
Orang bilang berada di Gili Trawangan
seperti berada di surga. Kalau begitu boleh lah aku mengatakan aku berada di
surga. Surga yang sudah pernah aku bayangkan sebelumnya dan selalu ingin aku
kunjungi. Surga yang ternyata agak berbeda dengan apa yang aku imajinasikan
selama ini.Tak apa lah, yang penting aku di surga.
Kata orang tempat ini surga. Surga berarti
harus dijelajahi. Segera kukayuh sepeda yang ada dan dengan penuh semangat
kujelajah pulau surga ini. Jangan lupa bawa minum, kata pemilik bungalow.
Hati-hati ada kawasan berpasir yang agak berat medannya, katanya lagi. Semua
itu tak kuhiraukan. Biarkan aku menjelajah surga ini dengan caraku.
Surga yang mempesona ini habis aku jelajahi
mengikuti jalur pantai hanya dalam waktu + 1 jam. Makan siang sudah
tersedia. Namun porsi yang diberikan tidak seimbang dengan energi yang aku
keluarkan selama mengayuh mengitari pulau. Aku masih lapar. Orang-orang
beristirahat. Aku disuruh istirahat. Tapi aku lapar. Lapar sehingga tidak bisa
tidur. Kubuka ranselku, kuambil bukuku. Lembar demi lembar aku baca. Masih
lapar. Kuhampiri kamar sebelah, kuketuk pintunya dan adik pertamaku muncul.
Kenapa, tanyanya. Ayo jalan-jalan cari makan, ajakku. Nggak, ah, aku masih
ngantuk, ujarnya. Nanti saja jam 4 bangunkan aku lagi, pungkasnya lalu menutup
pintu dan lanjut tidur.
Jam 4 sore waktu setempat. Tentu saja aku
tidak tidur. Kubangunkan lagi adikku—tidak, kedua adikku tepatnya, yaitu Vito
dan Oris, lalu Bintang—anak temannya mama—ikut bangun dan bergabung dengan
kami. Oris tampak kurang senang aku bangunkan, tapi tetap kupaksa dia. Kami
berjalan menyusuri tepi pantai ke arah selatan.
Surga memang tidak sempurna kalau tidak ada
berbagai jenis makanan. Makanan lokal, luar, negara ini, negara itu. Namun
sepertinya surga ini hanya ditujukan untuk mereka yang punya rejeki berlebih.
Nggak punya duit jangan ke sini, nggak bisa makan nanti.
Aku ingin makan makanan luar, kataku. Kami
belok ke sebuah restoran yang menawarkan paket lengkap masakan Italia, Meksiko,
dll. Pesan piza saja buat rame-rame, ujarku. Mereka menurut. Lagipula aku yang
bayar. Kami menunggu lama, tapi delapan potong piza habisnya dalam sekejap
saja. Setelah itu kami lanjut berjalan ke selatan. Ada gelato di sisi kanan jalan. Coba yang rasa azzuri cream, pintaku. Vito dan Oris ikut mencoba.
Semakin ke selatan tampak ada pasar. Di
depan pasar bisa lihat laut. Biru, tenang, damai, tampak pulau Lombok di
kejauhan. Matahari semakin turun. Katanya sunset
di sini bagus. Kalau kita jalan lurus ke arah barat—tanpa harus mengikuti
jalur tepi pantai—apa cukup waktunya untuk mencapai sisi satunya dan melihat sunset, tanyaku. Tidak tahu, coba saja,
kata yang lain. Kami memutuskan mencari jalan pintas—tidak lewat tepi pantai,
namun memotong pulau dan berharap bisa ke sisi satunya.
Awal masuk, masih banyak penginapan.
Mungkin semua rumah di sini dijadikan penginapan. Semakin masuk, tampak ada
sekolah. Syukurlah pendidikan di pulau ini masih ada. Apa yang diajarkan di
sini? Apakah Bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib mengingat sekitar 60-70%
manusia yang berkunjung ke pulau ini adalah orang asing?
Semakin ke dalam,
mulai tampak rumah asli. Rumah, bukan penginapan untuk pendatang. Rumah, yang
sangat sederhana, kontras dengan penginapan-penginapan mewah yang berjajar di tepi
pantai. Rumah yang hanya berupa gubuk
kecil beratapkan seng. Bahasanya pun bukan Bahasa
Inggris. Mereka menyapa kami dengan bahasa mereka, bahasa Sasak. Tampak penghuninya bersenda gurau sambil berbagi
sate yang barusan mereka bakar. Satu kata: sederhana.
Semakin ke dalam, hutan. Hutan. Hutan lagi.
Lapangan luas. Anak-anak bermain bola. Beberapa sepeda melintas. Jelas bukan
sepeda yang disewakan untuk mengitari pulau. Cidomo sekali lewat. Tanpa
penumpang, hanya si pemilik yang sepertinya akan pulang ke rumahnya. Hutan
lagi. Hutan terus. Sampai kapan? Matahari tak bisa menunggu. Langit sudah
berwarna oranye, namun garis pantai belum juga terlihat.
Di ujung sana tampak lapangan luas. Banyak
sapi dan kerbau sedang asyik makan. Lewat sini saja bagaimana, tanyaku. Tidak
mau, kalau kita dikejar atau ditanduk mereka gimana, ujar Bintang. Nggak bakal,
kataku. Pokoknya nggak mau, lebih aman kita kembali, kata Bintang. Kami putar
balik mencari jalan pulang.
Jalan setapak tampak di tengah-tengah
padang rumput di sisi kanan. Ini kan tadi yang dilewati cidomo, kata Vito.
Mungkin kita bisa ke pantai kalau lewat jalan ini, usul Bintang. Kami mencoba
lewat jalur itu. Namun sayang, tidak sampai 100 meter perjalanan, langkah kami
terhenti. Jalan itu hilang, bermuara ke lapangan luas dengan berhiaskan sapi
dan kerbau. Vito dan Bintang yang tiba duluan berpandangan, lalu menoleh padaku
dan Oris. Oke, saatnya kembali, ujar Bintang.
Ada jalan setapak lagi. Tidak, kataku.
Kapok sudah cari jalan pintas, sambungku lagi. Kami kembali menyusuri jalur
semula. Sayup-sayup terdengar azan maghrib. Lalu sekolah terlihat. Sebuah toko
tampak di seberangnya. Ayo beli minum, ajak Vito. Kami memilih minuman. Seorang
turis asing perempuan masuk dan mengobrol dengan penjaga toko. Bahkan penjaga
toko kecil yang berlokasi agak mblusuk
pun bisa Bahasa Inggris.
Pantai! Akhirnya garis pantai pun tampak.
Dengan girang kami menyusuri garis pantai kembali ke arah utara menuju
penginapan kami. Pelajaran hari ini : tidak semua jalan pintas dapat dicari dan
dilewati.
Dari mana saja, tanya orang tua kami.
Mencari sunset, jawabku. Dapat, tanya
mereka lagi. Tidak, kami tersesat tadi, jawab Bintang. Vito dan Oris nyengir. Oalah, sampai tersesat segala,
kata mamanya Bintang. Sekarang kalian mandi dulu, istirahat, lanjut beliau.
Bukan sunset yang pada akhirnya kami dapatkan, namun sisi lain dari surga ini. Sisi lain yang lebih berkesan ketimbang sekedar matahari terbenam.
Selasa, 01 Januari 2013
dokter dan sakit
“Dokter kok bisa sakit?”
Sedih kalau tau masyarakat kita masih terjebak dengan
anggapan seperti itu. Dikiranya kami dokter itu manusia setengah dewa gitu kali
ya, makanya nggak bisa sakit.
Beberapa hari yang lalu seorang teman yang juga dokter
mengeluhkan kondisinya yang mulai drop. Ditambah dia tinggal jauh dari
keluarga, membuat sakitnya terasa jadi lebih berat. I told him, since he’s living in a community with something like “kok
dokter bisa sakit?” and since he’s aware that he’s living far away from his
family, he has to take care for himself.
Tapi yang aku nggak tau adalah seminggu kemudian justru aku
yang mengalami hal serupa—minus jauh dari keluarga tentunya.
Akibat hujan deras disertai banjir dan jarak tempuh yang
cukup jauh dari rumah ke tempat kerja, kondisiku pun drop juga. Awalnya
tenggorokan sakit, lama-lama pilek terus-terusan disertai batuk kering dan
demam sumer-sumer. Khas banget penyakitnya musim hujan. Lucunya pasien juga banyak
yang datang dengan keluhan serupa.
Mungkin pasien atau orang non-medis akan berpikir, enak ya
kalau jadi dokter, disaat kondisi seperti ini nggak perlu mikir macem-macem
langsung bisa minum obat karena udah tau kondisinya dan obat apa yang harus
diminum.
Faktanya? Salah besar, terutama kalau merujuk pada
kondisiku.
Dokter—dan kebanyakan orang medis yang aku tau—malah
cenderung ogah minum obat. Hal ini semata-mata kami merasa kondisi kami belum
perlu diatasi oleh obat. Seorang perawat yang aku kenal masih nekat masuk kerja
walaupun sudah demam selama hampir satu minggu. Akhirnya ia menyerah dan mau
mengambil libur setelah mengetahui trombosit dan lekositnya sudah turun. Ada
lagi perawat lain kenalanku yang minum antibiotik sekadarnya, padahal ia sudah sangat
sadar kalau minum antibiotik kudu rutin.
Terkadang ke-tahu-an kami tentang kondisi kami justru
membuat kami menyepelekan kondisi kami, bahkan yang lebih buruk kami justru secara
tidak sadar menganggap diri kami manusia
seteengah dewa itu sendiri yang pasti bisa sembuh sendiri tanpa obat. Ah, paling istirahat bentar udah ilang, itu
yang sering muncul dalam pikiran kami. Masalahnya bisakah kami benar-benar
istirahat dengan jadwal kami yang padat? Itulah yang membuat kondisiku semakin
memburuk.
Jaga dua shift dalam kondisi seperti itu jelas mengganggu,
apalagi malamnya tenggorokanku sakit sekali. Tapi tetap saja aku bandel, nggak
mau minum obat padahal saat itu aku di rumah sakit yang kalau mau ambil obat
tinggal jalan bentar ke apotek. Aku memilih tidak mengonsumsi obat apapun malam
itu dengan asumsi dipakai istirahat bentar udah baikan. Nggak taunya pulang
jaga kondisiku malah memburuk. Mau nggak mau aku putuskan minum obat juga.
Ini yang lucu; biasanya kalau ada pasien yang datang dengan
keluhan serupa aku bisa dengan mudah memilihkan obat untuk mereka, tapi saat
aku sendiri yang dihadapkan dengan kondisi yang sama justru aku skeptis
terhadap obat-obat yang biasa jadi pilihanku. Gimana kalau nggak manjur, gimana
kalau ternyata ada obat yang lebih baik, dll. Pemikiran-pemikiran tersebut
akhirnya menjadi sugesti yang membuat kondisiku tampaknya tidak begitu ada
perbaikan. Saat aku merasa sudah mulai harus mengonsumsi antibiotik, pikiran
skeptis kembali meracuniku. Gimana kalau ternyata aku sudah resisten dengan
antibiotik ini, gimana kalau ternyata aku belum perlu antibiotik, dll.
Setelah menimbang cukup lama aku memutuskan untuk jadi
mengonsumsi antibiotik. Biasanya kalau aku meresepkan antibiotik untuk pasien
aku bisa dengan santainya bilang, “obat yang ini harus dihabiskan ya walaupun
sudah agak enakan.” Tapi saat aku sendiri yang kudu mengonsumsi antibiotik
rasanya malas sekali kalau harus menghabiskannya, bahkan saat baru mengonsumsi
satu butir pun sudah ada pikiran untuk menyudahinya.
Lalu siapa yang bisa menyadarkan dokter dan orang medis?
Nggak ada. Kalau sudah seperti ini kita hanya bisa bergantung pada
ke-istikomah-an dari si dokter dan orang medis tersebut. Bisa dibilang mereka
sudah sangat sadar terhadap kondisinya, sudah sangat tau obat apa yang harus
dikonsumsi, dan sudah sangat tau apa yang harus dilakukan untuk mempercepat
proses penyembuhan. Soal dijalani atau tidak memang sepenuhnya kembali ke tiap
individu.
Well, punya pasien
seorang dokter dan orang medis itu emang rempong. :D
Senin, 17 Desember 2012
Wings
Beberapa hari yang lalu aku random pergi karaoke bersama Res,
walaupun sebenarnya rencana karaoke ini sama sekali tidak ada dalam daftar
acara kami hari itu. Lagu-lagu yang kami nyanyikan pun random, tapi kebanyakan
bertema ‘nostalgia’. Entah itu lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Jepang,
Korea, bahkan lagu anak-anak. Untuk yang terakhir memang murni kerandomanku
sendiri. Sudah sering aku karaoke, tapi belum pernah aku mengecek kumpulan lagu
anak-anak. Iseng aku nyanyikan beberapa lagu anak-anak (yang disusul dengan
tatapan what-the-fuck-are-you-singing-right-now
dari Res XD).
Menyanyikan lagu anak-anak memang beda sensasinya dari
menyanyikan lagu untuk orang dewasa, terutama dari segi lirik lagu. Kebetulan
lagu yang aku nyanyikan menceritakan tentang seorang anak yang berandai ingin pergi
jauh setelah melihat banyak hal yang biasa ia lihat di sekitarnya pergi satu-persatu.
Menurutku lirik lagu ini benar-benar polos, lugu, tapi juga ‘dalam’ maknanya.
Tentunya ini mengingatkanku pada kondisiku saat ini. Duluuu
sekali saat baru masuk kuliah aku pernah mencoba membayangkan gimana rasanya
saat awal lulus nanti. Mau ke mana aku? Mau ke mana teman-temanku? Seperti apa
cerita hidup kami setelah itu? Sekarang setelah benar-benar lulus dan
dihadapkan pada kondisi tersebut (di mana satu-persatu orang-orang di sekitarku
pergi bahkan sejak sebelum aku lulus) aku mulai berpikir.
Beberapa orang datang dan pergi dari kehidupanku. Ada yang
pergi sebentar, ada yang lama. Ada pergi jauh, ada yang dekat. Ada yang
kembali, ada yang pergi selama-lamanya. Ada yang masih rutin kontak, ada yang
hampir tidak pernah ada kabarnya.
Mereka pergi. Mereka ‘pindah’. Mereka mencari sesuatu yang
lebih baik dari kondisi mereka yang sekarang. Tujuan mereka sama : mengejar apa
yang sudah mereka impikan. Dan mereka menjadikan
aku seperti anak di lagu itu; aku yang ingin ikut ‘mengejar’ mimpi bersama
mereka.
Baik mereka yang masih di sini—di sekitarku—maupun mereka
yang sudah jauh tapi masih sering berbagi cerita, mereka juga masih terus
memperjuangkan impiannya.
Aku? Tentu saja aku juga. ^^
“I’ve never had a dream before. But now when I have it, I want to dream big.”
-Res-
PS: Ada yang tau lagu apa yang aku nyanyikan? Hehe.
Senin, 12 November 2012
farewell
To be honest, I still can't find any 'good' in 'goodbye' nor 'well' in 'farewell'.
Okay, who else want to leave this city, hah?! *cry*
人は皆それぞれに気持ちを抱えて
今はただ別々の道を歩んで行く
どこまでも続いてくこの every stage of life
Everyone is holding his or her own variety of feelings
It's just that each of us are now walking our own separate paths
This continues on and on, in every stage of life
GreeeeN - Hito
Goodbye.
Langganan:
Postingan (Atom)